BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Penampilan diri merupakan aspek yang sangat diperhatikan dalam
Islam, karena Islam merupakan agama yang memberikan panduan dari hal-hal yang
bersifat global sampai hal-hal yang bersifat pribadi, apalagi penampilan diri
yang ada kaitannya dengan sunah Rasul dan kepribadian seseorang. Allah swt
telah memilihkan untuk Nabi-Nya sunah-sunah dan memerintahkan kita untuk
mengikuti Nabi dalam hal-hal tersebut sebagai syiar-syiar atau perlambangan dan
juga sebagai ciri khas untuk mengenal para pengikut Nabi dan membedakan mereka
dari golongan lain.
Berbicara mengenai masalah penampilan diri, secara fitrah semua
orang pasti ingin tampil baik dan meyakinkan dihadapan orang lain, akan tetapi
terkadang banyak orang yang tidak memperdulikan, membiarkan atau bahkan
melupakan isi dari dirinya yang sebenarnya, sebab itu tidak sedikit orang
tertipu oleh penampilan luar seseorang
.
.
Rasulullah saw bersabda dalam
hadisnya:
Artinya: Sesungguhnya Allah itu indah dan sangat mencintai
keindahan... (HR Muslim)
Rasulullah
juga bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْقَزَعِ.
قَالَ قُلْتُ لِنَافِعٍ وَمَا الْقَزَعُ قَالَ
يُحْلَقُ بَعْضُ رَأْسِ الصَّبِىِّ وَيُتْرَكُ بَعْضٌ.[2]
Artinya: Dari Ibn Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw melarang al-Qaza’u,
ia berkata: Aku berkata kepada Nafi’: apa itu al-Qaza’u? ia berkata:
Menggundul sebagian rambut kepala dengan menyisakan sebagian yang lain. (HR
al-Bukhari)
Dari dalil-dalil yang dikemukakan di atas, maka jelas bahwa agama Islam
sangat memperhatikan aspek keindahan dalam diri umatnya dan juga aspek
penampilan untuk menampakkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Rasullulah
saw bersabda: Sesungguhnya Allah senang melihat tanda nikmat yang diberikan
kepada hamba-hamba-Nya. (HR at-Tirmiżi dan al-Hākim).
Di antara bagian tubuh yang sering diperhatikan dan menjadi salah
satu aspek yang mempengaruhi penampilan adalah rambut, posisinya yang berada di
depan membuat rambut menjadi bagian tubuh yang termasuk pertama kali dilihat
oleh orang lain dan menjadi pembeda atau ciri khas sebuah golongan. Sehingga
diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah saw memerintahkan untuk
menyemir rambut dikarenakan pada waktu itu orang Yahudi dan Nasrani tidak
pernah menyemir rambut mereka, sehingga Rasulullah memerintahkan hal itu untuk
menyelisihi orang Yahudi dan orang Nasrani. Rasulullah saw bersabda:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِنَّ
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ.[3]
Artinya: Dari
Abū Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya orang Yahudi
dan Nasrani tidak pernah menyemir rambut mereka, maka berbedalah kalian dengan
mereka. (HR al-Bukhari)
Pada hadis lain, Rasulullah memerintahkan sahabatnya untuk menyemir
rambut yang sudah beruban, hal itu dimaksudkan untuk memperbaiki penampilan
agar terlihat tetap gagah dan segar ketika hendak berperang.
Rasulullah
saw bersabda:
عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أُتِىَ بِأَبِى قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ
وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « غَيِّرُوا هَذَا بِشَىْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ ».[4]
Artinya: Dari Jabir ra, ia telah berkata : Pada hari terjadinya Fathu
Makkah, Abū Quhafah, ayahanda Abū Bakr as-Ṣiddīq, didatangkan kehadapan
Rasulullah saw, sementara rambut kepala dan jenggotnya sudah memutih seputih ṡagāmah
(tanaman yang berdaun dan berbunga putih), Rasulullah saw lalu bersabda:
Semirlah rambutnya, hanya saja jangan dengan warna hitam.
Kedua hadis di atas dengan tegas menjelaskan adanya perintah dari
Nabi saw untuk mengecat rambut dengan beberapa tujuan seperti disebutkan
sebelumnya. Akan tetapi ternyata Rasulullah saw membatasi warna yang dipakai
untuk mengecat rambut itu, hadis yang diriwayatkan dari Jabir di atas menunjukkan
bahwa Rasul melarang penggunaan warna hitam dalam mengecat rambut. Bahkan dalam
hadis yang akan penulis teliti secara lebih spesifik dan mendalam, yaitu hadis
riwayat Ibn ‘Abbās, disebutkan bahwa Rasulullah saw mengecam keras bagi siapa
saja yang menggunakan warna hitam untuk mengecat rambut.[5]
Ironisnya, di kalangan masyarakat sekarang ini, kebiasaan mengecat
rambut sudah menjadi suatu hal dianggap biasa saja, baik itu di kalangan remaja
yang ingin memoles diri supaya terlihat lebih keren dan gaul ataupun di kalangan
orang tua yang ingin tetap terlihat muda. Apalagi jika kita perhatikan fenomena
mengecat rambut di kalangan para artis, cat rambut mungkin sudah menjadi sebuah
kebutuhan dalam rangka memaksimalkan pekerjaan mereka di bidang entertainment,
bahan warna yang digunakan pun sudah tidak diperdulikan lagi, baik itu warna
hitam, merah, kuning, emas dan yang lainnya, yang terpenting mereka bisa
terlihat sesuai dengan apa yang mereka inginkan atau sesuai dengan tuntutan
profesi yang mereka jalani. Maka tentunya dari sini akan timbul pertanyaan,
jika realita di masyarakat mengenai fenomena mengecat rambut ternyata seperti
ini, bagaimana status kehujjahan hadis riwayat Ibn ‘Abbās yang mengecam pemakaian warna hitam dalam mengecat rambut dengan
ancaman yang cukup keras yaitu bagi
mereka yang mengecat rambut menggunakan warna hitam maka mereka tidak akan
mencium bau surga.
حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ الْجَزَرِىِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَكُونُ
قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ
يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ[6]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abū
Taubah, telah menceritakan kepada kami, Ubaidillah dari ‘Abdul Karīm al-Jazari
dari Sa’īd bin Jubair dari Ibn ‘Abbās ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir
rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan
mencium bau surga.
Mengecat rambut
kepala memang merupakan masalah yang banyak diperdebatkan dalam Islam, bahkan
sejak masa awal. Suatu kebiasaan bersolek yang tampaknya sepele namun dalam
banyak hal telah membingungkan banyak orang. Hal ini jelas, mengingat adanya
referensi yang tak terbilang banyaknya di dalam sumber-sumber Islam kuno. Banyak
masalah yang timbul dalam pembahasan kajian ini, di antaranya ialah mengapa hal
itu menjadi masalah penting? Apakah yang dipertaruhkan sehingga tradisi yang
tersebar di dalam sumber-sumber yang berasal baik dari Nabi maupun dari para
tokoh pendahulu, di mana kebiasaan mengecat ditolak atau tegas-tegas
dianjurkan. Bahan-bahan cat tertentu dipandang sebagai halal dan yang lain sebagai
haram? Kapankah berita tentang masalah mengecat itu timbul? dari manakah asal berita
itu? siapakah yang bisa dianggap bertanggung jawab dalam hal tersiarnya berita
sehingga sementara sengaja membiarkannya tetap dipersoalkan, namun sepintas
lalu seperti tak memerlukan perhatian terlalu besar?.[7] Semua
permasalah ini merupakan permasalahan yang cukup rumit dan butuh pengkajian
secara mendalam untuk bisa menemukan titik temu sehingga bisa diambil
kesimpulan yang bisa dipegang dan dipertanggungjawabkan.
Dalam
penyusunan risalah ini, penulis akan menspesifikasikan pengkajian permasalahan
dengan mengkaji validitas salah satu hadis yang berbicara mengenai mengecat rambut,
yaitu hadis riwayat Ibn ‘Abbās yang akan dikaji pada pembahasan-pembahasan
selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
Merujuk pada
latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1.
Bagaimana mengetahui validitas sanad hadis riwayat Ibn ‘Abbās tentang
mengecat rambut dengan warna hitam dan kehujjahannya?
C.
Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah menerapkan teori kritik sanad untuk meneliti validitas sanad hadis
riwayat Ibn ‘Abbās tentang mengecat rambut dengan warna hitam.
Adapun kegunaan dari penelitian ini
adalah:
a)
Memberikan gambaran kualitas kesahihan sanad hadis riwayat Ibn ‘Abbās
tentang mengecat rambut dengan warna hitam.
b)
Sebagai suatu informasi dan masukan bagi masyarakat umum yang
sekarang ini banyak menggunakan cat rambut.
D.
Tinjauan Pustaka
1.
Makalah Tentang Hadis-Hadis Mengecat Rambut Dan Hukum Mewarnai
Rambut Dengan Warna Hitam. [8]
Seiring
berjalannya waktu rambut di kepala dan jenggot tak terasa memutih. Menyikapi fenomena
ini sebagian orang berinisiatif untuk menyemir rambutnya. Tak sedikit yang
memilih warna hitam. Rasulullah saw bersabda:
Dari
Abū Hurairah, Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan
Nasrani itu tidak menyemir uban. Oleh karena itu selisihilah mereka. (HR al-Bukhari)
Hadis
ini menunjukkan adanya anjuran untuk mengubah warna uban dengan yang lainnya
dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi yang memiliki ciri khas tidak mau
mengubah warna uban.
Dari
Jabir bin Abdillah, Abū Quhafah (bapak dari Abū Bakr) didatangkan ke hadapan
Nabi saat Fathu Makkah dalam kondisi rambut kepala dan jenggotnya putih semua
bagaikan ṡagāmah (pohon yang daun dan bunganya berwarna putih). Nabi saw lantas
bersabda: Ubahlah uban ini dengan sesuatu namun jauhilah warna hitam. (HR
Muslim).
Dari
Ibn ‘Abbās, Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok
orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara.
Mereka tidak akan mencium bau surge. (HR Abū Daud dan dinilai ṣahih oleh al-
Albani).
Dua
hadis ṣahih di atas menunjukkan dengan tegas bahwa menyemir uban dengan warna
hitam itu dilarang secara umum baik orang yang sudah sangat tua ataupun tidak.
Di samping itu larangan dari Nabi saw untuk salah satu umatnya itu berlaku
untuk seluruh mereka kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.
Bahkan
hadis yang kedua menunjukkan bahwa menyemir uban dengan warna hitam itu
termasuk dosa besar. Oleh karena itu Ibn Hajar al-Haitami al-Makki
mengkategorikan perbuatan ini sebagai dosa besar sebagaimana dalam al-Zawajir.
Pernyataan beliau tersebut dikuatkan oleh hadis berikut ini.
Dari
Abū Darda’, Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang menyemir uban dengan
warna hitam maka Allah akan menghitamkan wajahnya pada hari Kiamat nanti. (HR al-Thabrani).
Dari
Mujāhid, seorang tābi’īn, ia berkata: Di akhir zaman nanti ada sekelompok orang
yang menyemir rambutnya dengan warna hitam. Allah tidak akan memandang mereka
atau tidak ada bagian dari akherat untuk mereka. (HR Abdu al-Razak).
Dari
Ibn Syihab az-Zuhri, beliau berkata: Kami semir uban dengan warna hitam ketika
wajah masih tampak muda. Namun ketika wajah sudah tidak lagi muda dan gigi
sudah ompong maka kami biarkan sebagaimana apa adanya. (Riwayat Ibn Abī ‘Āṣim
dalam kitab al Khiḍab dan dinuqil oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari).
Berdasarkan
riwayat ini sebagian orang mengatakan bahwa larangan menyemir dengan warna
hitam itu hanya berlaku untuk orang yang sudah sangat tua yang semua rambut
kepala dan jenggotnya sudah beruban sedangkan orang yang keadaan dan usianya
belum sebagaimana Abū Quhafah maka tidak dosa jika menyemir uban dengan warna hitam.
Namun
pendapat semacam ini jelas kurang tepat dengan beberapa alasan.
a)
riwayat tersebut adalah perkataan seorang tābi’īn dan pendapat
seorang tābi’īn sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
b)
perkataan dan perbuatan siapapun tidak bisa menjadi dalil jika
bertolak belakang dengan hadis Nabi. Tiga hadis yang telah kami sampaikan di
atas adalah dalil yang menunjukkan kelirunya orang-orang yang mengatakan adanya
rincian dalam masalah ini. Sabda Nabi kepada Abū Quhafah, ‘Jauhilah warna hitam’ tidaklah
menunjukkan adanya rincian dalam masalah ini.
c)
Al-Albani mengomentari perkataan az-Zuhri, “Di samping riwayat ini
tidak layak dijadikan hujah karena faktor yang telah kami sebutkan (yaitu
pendapat tābi’īn), secara makna riwayat tersebut juga tidak menunjukkan adanya
rincian dan juga tidak menunjukkan bahwa az- Zuhri berpendapat haramnya semir
dengan warna hitam untuk orang yang semua rambutnya sudah memutih. Karena
riwayat tersebut hanya menceritakan perbuatan dan sikap az-Zuhri dan hal ini
semata tidaklah menunjukkan haramnya bersemir dengan warna hitam untuk orang
yang semua rambutnya sudah memutih.
Secara
implisit riwayat tersebut menunjukkan bahwa az-Zuhri sama sekali belum
menjumpai hadis yang melarang bersemir dengan warna hitam. Oleh karena itu,
beliau mengambil tindakan hanya dengan dasar perasaan. Bersemir dengan warna
hitam ketika wajah masih nampak muda dan tidak lagi bersemir dengan warna hitam
setelah berusia lanjut.
Bahkan
Ma’mar, salah seorang murid az-Zuhri malah mengatakan, “Az-Zuhri itu bersemir
dengan warna hitam” (Riwayat Imam Ahmad 2/309 dengan sanad yang ṣahih sampai
kepada Ma’mar)
Dalam
riwayat ini Ma’mar menjelaskan bahwa Az-Zuhri bersemir dengan warna hitam,
tanpa memberi rincian atau mengkhususkannya dalam kondisi tertentu.
2.
Artikel Tentang Beberapa Pendapat Mengenai Mengecat Rambut Dengan
Warna Hitam. [9]
a.
Bagi orang yang sudah tua dan ubannya sudah merata maka tidak layak
mengecat rambut dengan warna hitam. Pendapat ini didasarkan pada hadis nabi
yang menerangkan ketika Abū Bakr membawa
ayahnya yaitu Abū Quhafah kehadapan Nabi ketika fathu Makkah sedang Nabi melihat
rambutnya seperti pohon ṡagāmah yang serba putih baik bunganya maupun buahnya,
beliau bersabda: Ubahlah ini (uban) tapi jauhilah warna hitam.
b.
Bagi orang yang belum seumur dengan Abū Quhafah (belum begitu tua)
tidaklah berdosa jika menyemir rambutnya dengan warna hitam. Hal ini didasarkan
pada perkataan az-Zuhri : kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah
masih tampak muda, tetapi apabila wajah sudah mengerut dan gigi sudah goyah ,
kami tinggalkan warna hitam.
c.
Ada juga kalangan ulama yang berpendapat tidak boleh menyemir
rambut dengan warna hitam kecuali ketika hendak berperang supaya menakutkan
musuh ketika melihat tentara-tentara muslim Nampak masih muda-muda.
Secara
lebih rinci maka bisa dilihat sekilas bagaimana konfigurasi singkat pendapat
para ulama tentang mengecat atau mewarnai
rambut dengan warna hitam.
Ulama
Hanābilah, malikyah dan Hanafiyah menyatakan bahwasanya mengecat rambut dengan
warna hitam dimakruhkan kecuali bagi orang yang hendak pergi berperang karena
ada ijma’ yang menyatakan kebolehannya.
Abū
Yusuf dari ulama Hanafiyah menyatakan bahwasanya mengcat rambut dengan warna
hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasul: Sesungguhnya sebaik-baiknya
warna untuk mengecat rambut adalah warna hitam, karena akanlebih menarik untuk
istri-istri kalian dan lebih berwibawa dihadapan musuh-musuh kalian.
Ulama
Mażhab Syafi’i berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam itu
diharamkan kecuali bagi orang yang akan berperang. Hal ini didasarkan pada
sabda Nabi saw: Dari Ibn ‘Abbās ra, Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman
nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam
bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.
3.
Buku Tanya Jawab Agama.[10]
Buku
ini menerangkan adanya perbedaan mengenai hukum mengecat rambut dengan warna
hitam, namun dijelaskan dalam buku ini bahwa mayoritas ulama fiqih
membolehkannya karena perintah untuk menjauhi warna hitam itu khusus untuk Abū
Quhafah saja. Kemudian buku ini menjelaskan bahwa dalam mengecat rambut
janganlah dimaksudkan untuk menyombongkan diri ataupun mengelabui orang lain,
dan juga tidak boleh berlebihan.
Dari
beberapa litelatur sebagaimana penulis paparkan di atas, memang penulis belum
menemukan tulisan tentang tema yang sama dengan yang penulis teliti. Maka dalam
hal ini penulis ingin mencoba mengkaji penelitian yang berbeda dari
tulisan-tulisan yang telah ada yaitu suatu penelitian khusus membahas sanad
hadis “Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang
yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara.
Mereka tidak akan mencium bau surga” yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbās dalam
beberapa kitab hadis. Penelitian ini menggunakan disiplin ilmu hadis yaitu studi
sanad. Dengan demikian, fokus penelitian ini adalah kajian atas sanad hadis,
yang dititik beratkan pada ke-ṡiqahan-an periwayat dan ketersambungan
sanad, sehingga dapat ditarik sebuah benang merah atas ke-hujjah-an
hadis tersebut.
E.
Kerangka Teoretik
Dalam meneliti kualitas sanad, para ulama hadis sependapat bahwa
ada dua hal yang harus diteliti pada diri pribadi periwayat hadis untuk dapat
diketahui apakah riwayat hadis yang dikemukakannya dapat diterima sebagai
hujjah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah keadilan dan ke-ḍabit-annya.
Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedang ke-ḍabitan-an berhubungan
dengan kapasitas intelektual. Apabila kedua hal itu dimiliki oleh periwayat
hadis, maka periwayat tersebut dinyatakan sebagai orang yang bersifat ṡiqah.
Istilah ṡiqah merupakan gabungan dari sifat adil dan ḍabit.[11]
Untuk sifat adil dan sifat ḍabit, masing-masing memiliki kriteria
tersendiri.
1.
Kualitas pribadi periwayat. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
kualitas pribadi periwayat bagi hadis haruslah adil. Kata adil dalam hal ini
tida sepenuhnya sama artinya dengan kata adil menurut bahasa Indonesia. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa kata adil berarti “tidak berat
sebelah (tidak memihak)” atau “sepatutnya;tidak sewenang-wenang”.[12]
Kata
adil berasal dari bahasa Arab: ‘adl. Arti ‘adl menurut bahasa ialah
pertengahan, lurus atau condong kepada kebenaran.[13]
Dalam
memberikan pengertian istilah adil yang berlaku dalam ilmu hadis, ulama berbeda
pendapat. Dari berbagai perpedaan
pendapat itu dapat dihimpunkan criteria kepada empat butir. Penghimpunan kriteria
itu didasarkan pada kesamaan maksud tetapi berbeda dalam ungkapan sebagai akibat
dari perbedaan peninjauan. Keempat butir sebagai criteria untuk sifat adil itu
adalah :
a)
Beragama Islam
b)
Mukallaf
c)
Melaksanakan ketentuan agama
d)
Memelihara muru’ah. [14]
Beragama Islam
menjadi salah satu kriterium keadilan periwayat apabila periwayat yang
bersangkutan melakukan kegiatan penyampaian riwayat hadis. Untuk kegiatan
menerima hadis, kriterium tersebut tidak berlaku. Jadi, periwayat ketika
menerima riwayat hadis boleh saja tidak dalam keadaan memeluk agama Islam,
asalkan ketika menyampaikan riwayat, dia telah memeluk agama Islam.
Mukallaf, yakni balig dan berakal sehat, merupakan salah satu kriterium
yang harus dipenuhi oleh seorang periwayat ketika dia menyampaikan suatu
riwayat. Untuk kegiatan penerimaan riwayat, periwayat tersebut boleh saja jika
masih belum mukallaf, asalkan saja dia telah mumayyiz (dapat
memahami maksud pembicaraan dan dapat membedakan antara sesuatu dengan sesuatu
yang lain). jadi, seorang anak yang menerima suatu riwayat, kemudian setelah mukallaf
riwayat tersebut disampaikan kepada orang lain, maka penyampaian riwayat
tersebut telah memenuhi salah satu kriterium kesahihan sanad hadis.
Tentang
kriterium “melaksanakan ketentuan agama”, yang dimaksdukan ialah teguh dalam
agama, tidak berbuat dosa besar, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat
dan harus berakhlak mulia.[15]
Uraian tentang
“melaksanakan ketentuan agama” tersebut memang ada yang tumpang tindih. Hal itu
sebagai akibat dari peggabungan pendapat berbagai ulama tentang apa yang
dimaksudkan dengan periwayat yang bersifat adil.[16]
Adapun
memelihara muru’ah, seluruh ulama sependapat untuk menjadikannya sebagai
salah satu kriterium sifat adil. Arti muru’ah ialah kesopanan pribadi
yang membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikan moral dan
kebiasaan-kebiasaan. Hal itu dapat diketahui melalui adat istiadat yang berlaku
di masing-masing tempat.[17]
Contoh-contoh yang dikemukakan oleh ulama tentang prilaku yang merusak atau
mengurang muru’ah antara lain ialah makan di jalanan, buang air kecil di
jalanan, makan di pasar yang dilihat oleh orang banyak, memarahi istri atau
anggota keluarga dengan ucapan kotor, dan bergaul dengan orang-orang yang
berprilaku buruk. Bila periwayat hadis tidak memelihara muru’ah, maka
dia tidak tergolong sebagai periwayat yang adil dan karenanya,
riwayat-rwayatnya tidak diterima sebagai hujjah.
Berdasarkan
kriteria sifat adil yang telah dikemukakan di atas, maka hadis yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang suka berdusta, suka berbuat mungkar, atau
sejenisnya, tidak dapat diterima sebagai hujjah. Bila riwayatnya
dinyatakan jga sebagai hadis, maka hadisnya adalah hadis yang berkualitas lemah
(ḍaif).
Menurut Ibn
Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/1449 M), yang pendapatnya dalam hal ini diperjelas
antara lain oleh ‘Ali al-Qari (wafat 1014 H), prilaku atau keadaan yang merusak
sifat adil yang termasuk berat ialah :
a)
Suka berdusta (al-Każib)
b)
Tertuduh telah berdusta (at-Tuhmah bi al-Każib)
c)
Berbuat atau berkata fasik tetapi belum menjadikannya kafir (al-Fisq)
d)
Tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan diri orang itu sebagai
periwayat hadis (al-Jahalah)
e)
Berbuat bid’ah yang mengarah pada fasik tetapi belum menjadikannya
kafir (al-Bid’ah)[18]
Dari kelima
keadaan atau prilaku yang merusak berat sifat adil tersebut, butir-butir yang
dikemukaan terdahulu lebih berat dari pada butir-butir yang dikemukakan
berikutnya.
2.
Kapasitas Intelektual Periwayat. Intelektual periwayat harus
memenuhi kapasitas tertentu sehingga riwayat hadis yang disampaikannya dapat
memenuhi salah satu unsur hadis yang berkualitas sahih. Periwayat yang
kapasitas intelektualnya memenuhi syarat kesahihan sanad hadis disebut sebagai
periwayat yang ḍabit.
Arti
harfiyah ḍabit ada beberapa macam, yaitu dapat berarti yang kokoh, yang
kuat, yang tepat dan yang hafal dengan sempurna. [19]
Pengertian harfiyah tersebut diserap ke dalam pengertian istilah dengan
dihubungkan dengan kapasitas intelektual. Ulama hadis memang berbeda pendapat
dalam memberikan pengertian istilah untuk kata ḍabit. Namun perbedaan
itu dapat dirumuskan dengan memberi rumusan sebagai berikut :
a.
Periwayat yang bersifat ḍabit adalah periwayat yang :
1)
Hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya
2)
Mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada
orang lain
b.
Periwayat yang bersifat ḍabit adalah periwayat yang selain disebutkan dalam butir pertama di
atas, juga dia mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya itu.[20]
Rumusan tentang
ḍabit yang disebutkan pada butir kedua lebih sempurna daripada rumusan
yang disebutkan pada butir pertama. Rumusan pertama merupakan kriteria sifat ḍabit
dalam arti umum, sedangkan rumusan yang kedua merupakan rumusan sifat ḍabit
yang lebih sempurna dari yang umum itu. Ke-ḍabit-an yang disebutkan
kedua disebut sebagai tāmm ḍabit atau ḍabit plus.[21]
Jika pada sifat
adil ada prilaku atau keadaan yang bisa merusak, maka pada sifat ḍabit juga
ada prilaku atau keadaan yang bisa
merusak. Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam hal ini pendapatnya dijelaskan
oleh ‘Ali al-Qari juga, prilaku atau keadaan yang bisa merusak ke-ḍabit-an
seorang periwayat ada beberapa macam, yaitu:
a)
Dalam meriwayatkan hadis, lebih banyak salahnya daripada benarnya (fahusya
galaṭuhu)
b)
Lebih menonjol sifat lupanya daripada sifat hafalnya (al-Gaflah ‘an
al-Itqan)
c)
Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan (al-Wahm)
d)
Riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh
orang-orang yang ṡiqah.(mukhalafah ‘an as-Ṡiqah)
e)
Jelek hafalannya, walaupun ada juga sebagian riwayatnya yang benar
(su’ul hifẓi).
Butir-butir
yang disebutkan terdahulu lebih berat daripada yang disebutkan kemudian. Hadis
yang diriwayatkan oleh periwayat yang memiliki sebagian dari sifat-sifat
tersebut dinilai oleh ulama hadis sebagai hadis yang berkualitas lemah.[22]
Maka penelitian
ini juga akan menggunakan teori yang dipakai oleh Syuhudi Ismail sebagaimana
telah dijelaskan di atas, yaitu meneliti kesahihan sanad hadis yang didasarkan
kepada ke-ṡiqah-an periwayat.
3.
Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian bersifat library research (penelitian
kepustakaan) dengan menggunakan sumber-sumber data dari bahan-bahan tertulis dalam
bentuk kitab, buku, artikel dan lain-lainnya yang relevan dengan topik
penelitian.
Adapun
teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan murni, yaitu
pengumpulan data baik primer maupun sekunder. Adapun data primer yang penulis
pergunakan dalam meneliti ini adalah beberapa kitab hadis, antara lain : Sunan
Abū Dāud, Tahẓīb at-Tahẓīb, kitab-kitab syarah dan lain-lainnya.
Sebagai langkah awal dari peneltian ini, penulis menggunakan kitab Al-Kutub as-Sittah
dan juga dengan mengguakan CD Mausū’ah al-Hadīs as-Syarīf.
2.
Analisis Data
Dalam menganalisis data yang telah diperoleh dari penelitian
perpustakaan, data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan
analitis. Deduksi merupakan langkah analisis dari hal-hal yang bersifat umum
kepada hal-hal yang bersifat khusus.[23]
Sedangkan analitis suatu langkah untuk menguraikan data secara cermat dan
sistematis[24],
antara lain dengan melakukan takhrīj al-Hadis[25],
yaitu suatu penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sumber
asli dari hadis yang bersangkutan, yang dalam sumber itu dikemukakan secara
lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.
Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan i’tibār,[26]
yaitu menyertakan sanad-sanad lain untuk suatu hadis tertentu, maka dengan
menyertakan sanad-sanad lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat
yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang dimaksud.
Langkah ini dimaksudkan untuk memperjelas seluruh sanad hadis yang diteliti,
juga nama periwayat dam metode yang digunakan. Untuk memperjelas dan
mempermudah proses kajian i’tibar, maka langkah yang ditempuh adalah pembuatan
skema sanad dengan memperhatikan jalur seluruh sanad yang akan diteliti,
termasuk nama periwayatnya.
4.
Sitematika Pembahasan
Agar penelitian
ini lebih terarah dan lebih sistematis maka penulsi akan memaparkan gambaran
umum tentang tahapan-tahapan penelitian dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I, bab ini
meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian dan diakhiri
dengan sistematika pembahasan.
Bab II, di sini
penulis memaparkan gambaran umum tentang mengecat rambut yang terdiri dari satu
sub bab yaitu: mengecat rambut dalam sejarah. Dalam hal ini penulis berharap
gambaran umum tentang mengecat rambut dalam sejarah Islam ini bisa menjadi
keterangan pengantar sebelum memasuki pembahasan utama.
Bab III, dalam bab
ini penulis membagi kepada dua sub bab yaitu: pertama: teks-teks hadis dan i’tibār,
kedua: analisis kualitas sanad.
Bab VI, ini
merupakan bab bagian terakhir penelitian ini yang berisi kesimpulan,
saran-saran dan kata penutup dari pembahasan-pembahasan sebelumnya.
BAB II
GAMABARAN UMUM
TENTANG MENGECAT RAMBUT
Mengecat Rambut Dalam Sejarah
Referensi tentang digunakannya hinnā,
bahan mengecat yang paling lazim di Arab, terdapat sangat banyak dalam syair
pra-islam. [27]
Hinnā atau Lawsonia inermis, terdapat di mana-mana yaitu di tempat
tumbuhan ini masih tumbuh. Abū Hanīfah ad-Dinawarī (w. 282 [895]) menyebutnya sebagai lazim di ‘negeri Arab’. [28] bahan
pengecat lain yang kurang terkenal adalah katam (Isatis tinctoria),
diduga agak jarang terdapat di semenanjung Arabia,[29]
yang seandainya ada dipakai sebagai bahan campuran agar memperkeras dan
mempergelap warna hinnā yang biasanya kuning atau orange. Istilah teknis
untuk bahan campuran itu ialah syibāb.[30]
syibāb- syibāb lain untuk hinnā itu ialah wasmah, yaitu tumbuhan penghasil indigo yang disebut
pastel; khitr,[31]
yang dipandang sama seperti katam atau wasmah; sanā, sabīb,
dan lain-lain.[32]
Biasanya cat itu diperoleh dengan cara mengeringkan daun tumbuhan tersebut,
kemudian menumbuknya, dan dengan dicampur sedikti air diaduk sehingga menjadi
semacam tapal (pasta)[33].penggunaan
syibāb sebagai campuran hinnā bisa diduga telah menjadi kebiasaan
yang lazim, apabila kita membaca bagaimana sebuah sumber dari zaman pertengahan
akhir menguraikan tentang hinnâ itu. Bisa kita baca dalam Ibn al-Baitar
(w. 646 [1248]) bahwa hinnā itu menghitamkan rambut dan mencegahnya dari
kerontokan.
Apabila kita membaca syair-syair
yang dikumpulkan oleh Abū Hānifah ad-Dināwarī, sebagian besar dari referensi di
dalam syair-syair kuno itu, bahan-bahan cat seperti hinnā lebih sering digunakan untuk
mengecat kuku jari tangan dan kaki, demikian juga bagian-bagian pada tangan dan
kaki. Adat kebiasaan ini masih berlaku, dan dengan indahnya dilukiskan di dalam
tulisan Lane Mesir abad ke-19. Tetapi di tempat lain kita bisa dapati referensi tentang hinnā sebagai bahan
yang digunakan untuk mengecat rambut. [34] Hinnā
juga digunakan untuk hal lain seperti untuk membuat semacam minyak wangi,
karena konon katanya bunga dari hinnā itu sangat harum. Bunga ini
bernama fagiyah, nama ini digunakan secara khusus untuk menyebut bunga hinnā.
Dari bunga inilah dibuat semacam minyak wangi.[35]
Uraian tersebut di atas menjelaskan
kepada kita bahwa membicarakan kebiasaan mengecat di dalam Islam masa purba
mengharuskan kita untuk juga membedakan adanya bermacam-macam bahan pewarna
itu; dari tumbuhan apa diperoleh, warna apa yang diperoleh dan bahan-bahan
pewarna apa lagi lainnya yang digunakan, baik untuk rias maupun mewarnai
pakaian.
Dalam konteks masyarakat Kristen
Siria, belum ditemukan petunjuk jelas satu pun, apakah mereka menentang atau
justru menyetujui adat kebiasaan tersebut. Seorang penyair Kristen, al-Akhtal
berpendapat bahwa tidak ada perlunya mengecat rambut atau janggut yang putih.
Orang-orang Yahudi terkadang mengecat rambut mereka , meskipun ayat “… orang
laki-laki janganlah mengenakan pakaian orang perempuan” (Ulangan XXII, 5)
dengan jelas mencegah orang laki-laki
mengecat rambut seperti halnya orang perempuan. Beda halnya dengan orang Persia
dari kerajaan Sasan yang agaknya mereka menyukai kebiasaan mengecat rambut itu.
Warna putih dipandang sama dengan ‘tak berwarna’ berarti ‘umur tua yang memuakkan’.
Walaupun di dalam kitab-kitab Avesta atau Zoroaster umumnya referensi tentang
mengecat rambut itu tidak bisa dilacak, namun bangsa Persia baik yang kuno
maupun yang modern pada umumnya dilukiskan sebagai orang-orang yang suka
mengecat rambut. Di Romawi kuno para penyair biasa mengecat rambut mereka
pirang, apabila kekasih mereka berambut demikian.akhirnya di Mesir koptik
rambut putih atau ubanan bisa juga disebut rambut yang harus dibuat hitam.[36]
Berdasarkan adanya
keterangan-keterangan tentang kebiasaan ini di dalam syair-syair pra-Islam
seperti tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa mengecat rambut
merupakan kebiasaan yang cukup dikenal di Arabia pra-Islam. Tetapi oleh karena
sedikitnya alat-alat pewarna yang seringkali harus diimpor dari luar negeri, menyebabkan
kebiasaan itu dipraktikan secara terbatas saja. Selanjutnya, bahwa kebiasaan
itu memang sudah dikenal di Semenanjung, hal ini bisa disimpulkan dari praktik
yang mungkin telah dikenal di mana-mana oleh masyarakat-masyarakat di sekitar
semenanjung itu. Namun demikian, meskipun hinnâ mungkin merupakan
tumbuhan semak biasa, tetapi syibāb- syibāb-nya, seperti katam
pada umunya tidak demikian. Maka dalam hal ini timbul pertanyaan apa manfaat
mengecat rambut putih dengan warna kuning/orange? jika ia memang menginginkan agar
warna putih yang memuakan itu tersembunyi? Bukankah alat yang dicampur dengan
suatu syibāb yang menghasilkan warna hitam atau setidak-tidaknya warna
gelap jauh lebih populer bagi orang yang ingin menyembunyikan warna ubanan atau
putih mereka, dari pada keinginan untuk mengecatnya dengan warna kuning atau
orange dengan keadaan mereka yang terbiasa menjadi beruban? Maka mungkin
kesimpulannya adalah hinnā digunakan secara hemat karena jarang adanya.
Dan bahan pewarna ini bagaimanapun juga jarang dicampur dengan bahan penggelap
warna. Perkiraan-perkiraan demikian kiranya juga didukung oleh laporan-laporan awā’il
(nilai sejarah dari berita-berita) yang ada.
Sebuah laporan awā’il (nilai
sejarah dari berita-berita) melukiskan diperkenalkannya kebiasaan mengecat
rambut putih pada masa awal Islam. Tak lama sesudah Mekah ditaklukkan, ayah Abū
Bakr, Abū Quhafah, lelaki dengan rambut dan janggut seputih bunga ṡagāmah
dihadapkan kepada Muhammad. Diberitakan bahwa Muhammad berkata ketika itu: Ubahlah
(uban) ini, asalkan jangan menggunakan cat hitam. Lalu orang pun mengecat
rambut dan janggut Abū Quhafah dengan warna merah.[37]
Hadis tersebut memberikan penjelasan
bahwa Nabi menuntut supaya cat hitam tidak dipergunakan, namun Nabi cenderung
memilih kepada sesuatu yang dibuat dari hinnā, meskipun tanpa
menyebutkannya secara langsung. Sedangkan adanya perintah Nabi kepada Abū
Quhafah agar dia bersedia mengecat rambutnya dengan anjuran untuk memilih bahan
cat berwarna orange daripada warna hitam dapat diartikan sebagai tindakan tegas
Nabi untuk menegur dan menunjukan kekuasaanya terhadap seseorang yang beberapa
saat lalu meruapakan salah seorang di antara musuh-musuhnya di Mekah.[38]
BAB
III
KLASIFIKASI
DAN NILAI KUALITAS HADIS RIWAYAT IBN ‘ABBĀS TENTANG MENGECAT RAMBUT DENGAN
WARNA HITAM.
A. Teks-Teks Hadis dan I’tibār
Dalam mencari hadis-hadis tentang mengecat
rambut ini, penulis menggunakan metode takhrīj
al-Hadis bi al-Lafẓ melalui kata yakh’ḍibūna (يَخْضِبُون ) dengan
menggunakan kitab Al-kutubu as-Sittah. Namun untuk mendapatkan
keterangan yang lebih lengkap penulis juga menggunakan CD Mausū’ah al-Hadīs
as-Syarīf dalam melakukan penelusuran ini mengingat bahwa CD Mausū’ah al-Hadīs as-Syarīf merupakan kumpulan kitab-kitab hadis berupa
bentuk CD dimana itu merupakan hasil dari kemajuan teknologi.
Dalam penelusuran melalui sumber-sumber
tersebut, dapat dilacak bahwa teks-teks hadis tentang mengecat rambut yang
diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās itu terdapat dalam kitab Musnad Ahmad bin
Hanbal yaitu pada hadis nomer 2474, kemudian dalam kitab Sunan Abū Daud
yaitu pada hadis nomer 4212, kemudian dalam
kitab Sunan an-Nasa’i yaitu pada hadis nomer 5075, kemudian dalam kitab Musnad
Abū Ya’la yaitu pada hadis nomer
2603.
Adapun
redaksi Hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal bab Musnad
Abdullah ibn ‘Abbās nomer 2474.
حدثنا عبد الله
حدثني أبى ثنا حسين وأحمد بن عبد الملك قالا ثنا عبيد الله يعنى بن عمرو عن عبد
الكريم عن بن جبير قال أحمد عن سعيد بن جبير عن بن عباس عن النبي صلى الله عليه و
سلم قال : يكون قوم في آخر الزمان
يخضبون بهذا السواد قال حسين كحواصل الحمام
لا يريحون رائحة الجنة[39].
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepadaku Ubai,
telah menceritakan kepada kami Husain dan Ahmad bin ‘Abdul Malik, keduanya
berkata: Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah yaitu Ibn ‘Amr dari Abdul
Karīm dari Jubair, Ahmad berkata: Dari Sa’īd bin Zubair, dari Ibn ‘Abbās, dari
Nabi saw beliau bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada
sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam, Husain berkata : Bagaikan
tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.
2. Kitab Sunan Abū Dāwud bab Mā Jâ’a Fȋ
Khiḍabi bi Sawād nomer 4212
حَدَّثَنَا
أَبُو تَوْبَةَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ الْجَزَرِىِّ
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ
كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ[40]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abū Taubah, telah menceritakan kepada kami, Ubaidillah
dari Abdul Karīm al-Jazari dari Sa’īd bin Jubair dari Ibn ‘Abbās ia berkata,
Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada
sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok
burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.
3. Kitab Sunan
an-Nasa’i bab Annahyu An Alkhiḍabi Bi Sawād nomer 5075
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ الْحَلَبِيُّ ،
عَنْ عُبَيْدِ اللهِ وَهُوَ ابْنُ عَمْرٍو ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ ، عَنْ
سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ ، رَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ : قَوْمٌ يَخْضِبُونَ بِهَذَا السَّوَادِ آخِرَ الزَّمَانِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ ، لاَ
يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.[41]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ubaidillah al-Halabi, dari
Ubaidaillah, dia adalah Ibn ‘Amr, dari Abdul Karīm, dari Sa’īd bin Jubair, dari
Ibn ‘Abbās, ia memarfukan hadis ini bahwa Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir
rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan
mencium bau surga.
4. Kitab Musnad Abū Ya’la bab Awālu
Musnad Ibn ‘Abbās nomer 2603.
حدثنا زهير حدثنا عبد الله بن جعفر الرقي حدثنا عبيد
الله يعني ابن عمرو عن عبد الكريم عن سعيد بن جبير : عن ابن عباس أن النبي صلى
الله عليه و سلم قال : قوم يخضبون بالسواد في آخر الزمان كحواصل الحمام لا يريحون
رائحة الجنة[42]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Ja’far ar-Raqi, telah menceritakan kepada
kami Ubaidillah yaitu Ibn ‘Amr dari Abdul Hakīm, dari Sa’īd bin Jubair, dari
Ibn ‘Abbās bahwa Nabi saw bersabda: Di akhir zaman nanti
akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan
tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.
Selanjutnya dalam penelitian sebuah hadis, i’tibār
diperlukan untuk mengetahui keadaan sanad hadis secara keseluruhan dilihat
dari ada atau tidaknya pendukung pada periwayat yang berstatus sebagai syāhid dan muttābi’. Dalam istilah ilmu hadis, i’tibār
berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk hadis-hadis tertentu yang
pada bagian sanad-sanad tampak hanya terdapat seorang perawi saja dan dengan
menyertakan sanad-sanad yang lain akan terlihat ada atau tidaknya periwayat
lain untuk bagian sanad dari sanad hadis tersebut.[43]
Melalui i’tibār, akan terlihat dengan jelas dan sitematis seluruh jalur
sanad dari hadis yang sedang diteliti, nama-nama seluruh periwayat serta metode
periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.
Singkatnya, dengan kegiatan i’tibār
ini akan dapat diketahui dengan mudah sanadnya, nama rawinya,dan metode
penyampaian hadis dari tingkatan yang paling tinggi sampai kepada tingkatan
hadis yang palin rendah, atau penyampaian hadis dari guru kepada muridnya (tahammul
wa al-Adā al-Hadis) karena metode penyampain hadis dapat diketahui maka unsur-unsur
yang membentuk kualitas hadis dapat diketahui dan menerima hadis dengan lambang
“tahdis” atau ‘sama’ ” akan lebih terpercaya dari pada lambang “an”.
B. Analisis Terhadap Kualitas Sanad Hadis
Sebagaimana
telah diketahuir hampir seluruh umat Islam mengakui bahwa sumber hukum Islam
adalah al-Qur’an, al-Hadis, Ijma dan Qiyas. Meskipun demikian, sumber-sumber
tersebut memiliki tingkatan yang berbeda. Yang paling utama adalah al-Qur’an kemudian
al-Hadis, yang keduanya sebagai sumber pokok. Oleh karena itu, banyak ayat
al-Qur’an dan hadis Nabi saw yang memerintahkan untuk taat kepada kedua sumber
tersebut.
Dalam kaitannya
dengan sumber yang pertama, umat Islam telah sepakat akan kemutawatirannya
sehingga tidak diperlukan lagi penelitian akan keasliannya. Sedangkan hadis
Nabi saw, sebagian periwayatannya adalah mutawatir dan sebagian yang
lain tidak mutawatir. Oleh karena itulah diperlukan penelitian
tersendiri untuk hadis Nabi saw agar dapat diketahui apakah hadis yang
bersangkutan dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya.
Dari beberapa
jalur hadis yang telah dipaparkan di atas, penulis hanya akan memfokuskan
penelitian pada sanad hadis dari mukharrij-Abū Dāwud yang terdapat dalam
salah satu kitab yang menjadi rujukan hadis (Sunan Abī Dāwud). Berikut
penulis paparkan kembali hadis tersebut:
حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ
الْكَرِيمِ الْجَزَرِىِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى
آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ
الْجَنَّةِ[44]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abū Taubah, telah menceritakan kepada kami,
Ubaidillah dari Abdul Karīm al Jazari dari Said bin Jubair dari Ibn ‘Abbās ia berkata,
Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada
sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok
burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.
Adapun nama-nama periwayat yang akan penulis teliti dari jalur
sanad kitab Sunan Abū Dāwud adalah sebagai berikut :
NO
|
NAMA PERIWAYAT
|
URUTAN
SEBAGAI PERIWAYAT
|
URUTAN SEBAGAI SANAD
|
1
|
Ibn ‘Abbās
|
I
|
V
|
2
|
Sa’īd ibn Jubair
|
II
|
IV
|
3
|
Abdul Karīm al-Jazarī
|
III
|
III
|
4
|
Ubaidillah
|
IV
|
II
|
5
|
Abū Taubah
|
V
|
I
|
7
|
Abū Dāwud
|
VI
|
Mukharrij
al-Hadis
|
1.
Ibn ‘Abbās
Nama aslinya adalah ‘Abdullah ibn ‘Abbās ibn ‘Abdul Muṭāllib ibn Hāsyim,
putra dari paman Nabi. Ibunya bernama Ummu al-Fadlel Lubābah al-Qubrā binti
al-Hāris al-Hilāliyah yang mana tidak lain adalah saudara perempuan dari
istri Nabi yang bernama Maimūnah. Adapun nama Ibn ‘Abbās merupakan nama kuniyah.
Beliau berasal dari suku Banī Quraiys al-Hāsimi. Lahir di Mekah pada 5 Tahun sebelum
Hijriyah dan wafat di Tāif pada tahun 67. [45]
Hadis-hadis yang Ibn ‘Abbās riwayatkan sebanyak 1660 buah. Dari
jumlah tersebut yang Muttafaqun ‘alaihi sebanyak 95 buah dan yang infara
bihi al-Bukhari sebanyakan 29 buah dan yang infara bihi Muslim
sebanyak 49 buah. Dalam meriwayatkan hadis, Ibn ‘Abbās menerima hadis langsung
dari Nabi dan ada pula yang bersumber dari para sahabat. Di antaranya adalah
:”Aisyah binti Abū Bakr, ‘Ali ibn Abī ṭālib, ‘Abbās ibn ‘Abdul Muṭāllib ibn
Hāsyim ibn Abī manāf, ‘Umar ibn Khatab, Fâtimah binti Qais ibn Khālid.[46]
Sedangkan beberapa orang murid yang meriwayatkan hadis darinya
adalah : Sa’īd ibn Jubair ibn Hāsyim, ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn ‘Abbās, Ali ibn Dāwud
dan beberapa lainnya.
2.
Sa’īd ibn Jubair
Nama lengkapnya adalah Sa’īd ibn Jubair ibn Hāsyim. Kuniyah-nya
adalah Abū Muhammad. Wafatnya tahun 94 dan menurut Abū Nuaim pada tahun 95 H.
sepanjang karirnya sebagai periwayat hadis, Sa’īd ibn Jubair tercatat memiliki
beberapa orang guru, di antara nama-nama gurunya adalah ‘Abdullah ibn ‘Abbās
ibn ‘Abdul Muṭāllib ibn Hāsyim (Ibn ‘Abbās), Ibn ‘Umar, Ibn Mas’ud al-Ansāri,
Ibn Sa’īd al-Khudrī, Abū Hurairah, ‘Anas, Maimûn dan lain-lainnya sedangkan
beberapa nama-nama muridnya antara lain : Ṭalhah ibn Musrif ibn ‘Umar ibn Ka’ab,
putranya sendiri ‘Abdul Mālik, Yu’lā ibn Hākim, Atā ibn as-Sȃib dan
lain-lainnya.[47]
Nama Ibn Jubair di kalangan kritikus hadis termasuk periwayat hadis
yang memiliki popularitas dan integritas yang cukup baik, atau dengan kata lain
tingkat ke-‘adalah-an dan ke-ḍābit-annya dinilai oleh kalangan
ulama hadis tidak perlu diragukan lagi. Di antara sejumlah perawi hadis yang
mengkategorikannya sebagai perawi yang ‘adalah dan ḍābit, misalnya
Abū Qāsim at-Tabāri. Menurutnya ibnu Jubair dinilai sebagai periwayat hadis
yang ṡiqah, dikarenakan ia (Ibn Jubair) dikenal memiliki ketaqwaan,
kejujuran, kebersihannya dari hal-hal yang menjatuhkan martabat dirinya serta
kecerdasan untuk mentransformasikan hadis yang pernah ia dapatkan dari gurunya,
terutama dari Ibn ‘Abbās. Selain Abū Qāsim al-Tabāri, ulama hadis yang lain
yang member apresiasi positif adalah Yahyā ibn Mu’in yang juga menilai ṡiqah,
‘Abū Zar’ah al-Rāzi Abū al-Qāsim al-Likā’i dengan predikat ṡiqah imam
hujjah, serta Ibn Hibbān yang juga menilainya sebagai ṡiqah.[48]
3.
Abdul Karīm al-Jazarī
Nama lengkapnya adalah Abdul Karȋm bin Mālik al-Jazarī atau disebut
juga Abū Sa’īd al-Harāni. Dia berasal dari desa Yamāmah dan wafat pada tahun
124. Dia meriwayatkan Hadis dari Atha’, Ikrimah, Sa’īd bin Musayyab, Sa’īd bin
Zubair, Mujāhid, Abū Ubaidah bin Mālik bin Mas’ud. Ṭawus, Abdurrahman bin Abī
Laila, Nafi’ dan juga yang lainnya.[49]
Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan hadis dari Abdul Karīm
al-Jazarī diantaranya ialah Ayūb as-Sakhtayānī, Ibn Juraih, Mālik, Ma’mar,
Juhair bin Muawiyah, Hujāj bin Arṭāh, Israil bin Yunus, Ubaidillah bin Umar, Ar
Raqī, Muhammad bin Abdullah bin Ulāsah, Abū al-Ahwash, Sufyan dan lain
sebagainya.[50]
Ahmad berpendapat bahwa dia adalah orang yang ṡiqah lagi ṡubut, dia juga merupakan ṣahibu sunnah, Muawiyah
bin Ṣalih yang diriwayatlan dari Yahya bin Muayyin berkomentar serupa bahwa
Abdul Karīm al-Jazarī adalah orang yang ṡiqah lagi ṡubut, Ibn Sa’ad
juga berkomentar bahwa Abdul Karīm al-Jazarī merupakan orang yang ṡiqah
lagi banyak meriwayatkan hadis.[51]
At-Tirmiżi, Abū Bakr al-Bazzāri, Ibn al-Barakī, dan ad-Daruqutnī berkomentar
bahwa dia (Abdul Karīm al-Jazarī) adalah orang yang ṡiqah. Sufyan as-Ṡauri
berkata : Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dibanding dia (Abdul
Karīm al-Jazarī) ketika menyampaikan suatu hal. Ibn Abdil Bar berkata dia
adalah orang yang ṡiqah karena dia banyak meriwayatkan hadis.[52]
4.
Ubaidillah
Namanya adalah Ubaidillah bin ‘Amr bin Abī Walīd al –Asadī, ia
meriwayatkan hadis dari Abdul Malik bin Umair, Abdullah bin Muhammad bin Aqil,
Yahya bin Sa’īd al-Anṣari, al-A’mas, Ayub, Lais bin Abī Salīm, Ma’mar, Aṡauri,
Ibn Abī Unaisah, Ishak bin Rasyid dan lain sebagainya.[53]
Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya di antaranya
ialah Baqiyyah, Abdullah bin Ja’far ar-Raqī, Zakaria bin Adī, Ahmad bin Abdul
Mālik al-Harāni, Alā’ bin Hilal al-Bāhili, Hisyām bin Jamil al-Inṭaki, Yusuf
bin Adī, Walid bin Ṣalih an-Nakhasi, Yahya bin Yusuf al-Jamī, Uṡman bin Sa’īd
al-Kūfi, ‘Amr bin Qasit ar-Raqī dan lain sebagainya.[54]
Ibn Mu’in dan an-Nasa’i berkomentar bahwa Ubaidillah merupakan
orang yang ṡiqah, Abū Hatim juga berkomentar bahwa dia adalah orang yang
ṡiqah lagi ṡuduq, dan aku tidak mengetahui satupun hadis munkar
darinya. Ibnu Saad berkomentar bahwa dia adalah orang yang ṡiqah lagi ṡuduq
dan juga banyak meriwayatkan hadis, dan dia merupakan orang yang paling
kuat hafalannya di antara orang-orang yang meriwayatkan hadis dari Abdul Karīm
al-Jazarī. Dia meninggal di Ruqqah pada tahun 180, ada yang mengatakan bahwa
dia lahir pada tahun101. Pendapat ini diutarakan oleh Abū Ali al-Harāni dalam
sejarah kota Ruqqah yang diriwayatkan dari Hilal bin Alā’. Ibn Hibbān
menggolongkannya sebagai orang yang ṡiqah, ia berkata bahwa Ubaidillah Merupakan
rawinya Zaid bin Abī Unaisah.[55]
5.
Abū Taubah
Abū Taubah al-Halābi nama aslinya adalah Rabī’ bin Nāfi’, ia
tinggal di Ṭarsus. Ia meriwayatkan hadis dari Abū Ishak al-Fajāri, Abū Mulaih
al-Hasan bin ‘Amr ar-Raqī, Muawiyah bin Salam, Hāsyim bin Humaid, Ubaidillah
bin ‘Amr ar-Raqī, Sa’īd bin Abdirahman al-Jamahi, Isya bin Yunus, Muhammad bin
Muhājir, Ibn Uyainah dan lain-lain.[56]
Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya ialah Abū Dāwud,
kemudian al-Bukhari juga meriwayatkan hadis dari Abū Taubah melalui perantara
Hasan bin Ṣabāh al-Bajjāri. Abū Dāwud meriwayatkan hadis dari Abū Taubah di
dalam kitab al-Marāsil melalui perantara Ismail bin Musa’adah, Muslim
meriwayatkan hadis dari Abū Taubah melalui perantara Hasan bin Ali al-Halawani,
an-Nasa’i meriwayatkan hadis dari Abū Taubah melaui perantara Ibrahim bin
Ya’kub dan Muhammad bin Abī Yahya bin Kaṡir al-Harāni, Abū Hātim dan Ibn Majah
meriwayatkan hadis dari Abū Taubah melalui perantara Ibrahim bin Sa’īd
al-Jauhari, Abū al-Ahwas al-Akbari, Ahmad bin Hanbal, Abū Bakr al-Aṡrami,
Abdullah ad-Dārimi, Ya’kub bin Sufyan, Mūsā bin Sa’īd ad-Dandāni, Abdul Karīm
bin Hisyām dan lain-lain.[57]
An-Nasa’i berkata: Telah memberitakan kepada kami Sulaiman bin
al-Asy’asy, ia pernah mendengar Ahmad berkata: Aku tidak pernah memiliki
masalah apapun dengan Abū Taubah dan al-Asram juga berkata : Aku mendengar Abū
Abdillah menyebut nama Abū Taubah dan memujinya, kemudian ia berkata : Aku
tidak pernah mengetahui apa-apa tentangnya (Abū Taubah) kecuali kebaikan saja.
Abū Hatim berkomentar, Abū Taubah adalah orang yang ṡiqah, ṡuduq dan
dapat dijadikan hujjah. Ya’kub bin Syaibah berkomentar, Abū Taubah
adalah orang yang ṡiqah lagi ṡuduq. Al-Azary berkomentar Abū
Taubah adalah orang yang terjaga dari kecongkakan, pengelihatannya penuh dengan
penghormatan dan dalam dirinya terdapat sifat sabar. Abū Taubah wafat pada
tahun 241.[58]
6.
Abū Dāwud
Nama lengkap Abū Dāwud adalah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin
Basyir bin Syidad bin ‘Amar al-Azdi as-Sijistani. Beliau dilahirkan dilahirkan
tahun 202 H di Sijistan dan wafat di Basrah tanggal 16 Syawal 275 H.
Sejak kecil Abū Dāwud sangat mencintai ilmu,
dia belajar hadis dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak,
Jazirah, Sagar, Khurasan dan yang lainnya. Pengembaraanya kebeberapa negeri itu
menunjang dia untuk mendapatkan hadis sebanyak-banyaknya. Kemudian hadis tersebut
disaring, lalu ditulis pada kitab sunan. Abū Daud sudah beberapa kali
mengunjungi Bagdad. Di kota itu dia mengajar hadis dengan menggunakan kitab
sunan sebagai pegangan. Kitab sunan itu ditunjukan kepada ulama-ulama hadis
terkemuka, seperti Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan
bahwa kitab itu sangat bagus.
Jumlah guru Imam Abū Dāwud sangat banyak, di antara gurunya yang
paling menonjol antara lain: Ahmad bin Hanbal,
Abū Hurairah, al-Qan’abi, Abū ‘Amar ad-Darir, Muslim bin Ibrahim,
Abdullah bin Raja’, Abdul Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebagian gurunya ada
yang menjadi guru dari Imam Bukhari dan Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Uṡman
bin Abū Syaibah dan Qutaibah bin Sa’īd.
Ulama yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan hadisnya
antara lain adalah Abū Isya at-Tirmiżi, Abū Abdurrahman an-Nasa’i, putranya
sendiri yaitu Abū Bakr bin Abū Daud, Abū Awana, Abū Sa’īd al-Arabi, Abū Ali
al-Lu’lu’i, Abū Bakr bin Dassah, Abu Salīm, Muhammad bin Sa’īd al-Jaldawi dan
lain-lain.
Abū Dāwud termasuk ulama yang mencapai derajat tinggi dalam
beribadah, kesucian diri, kesalihan dan wara’ yang patut diteladani.
Sebagian ulama berkata: Perilaku Abū Daud, sifat dan kepribadiannya menyerupai
Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal menyerupai Waki’, Waki’ seperti Sufyan
as-Ṣauri, Sufyan seperti Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibarahim
menyerupai Alqamah. Alqamah seperti Ibn Mas’ud dan Ibn mas’ud seperti Nabi saw.
Sifat dan kepribadian seperti ini menunjukan kesempurnaan beragama, prilaku dan
akhlak Abū Dāwud.
Komentar para ulama hadis mengenai Abū dāwud juga dapat disimak
dari perkataan Mūsā bin Harun bahwa ia tidak pernah tahu tentang orang yang
lebih utama dari Abū Dāwud sehingga ia menyuruh kepada Muhammad bin Yahya bin
Abī Saminah untuk menulis hadis yang diperoleh dari Abū Dāwud. Berbeda dengan
penilaian Maslamah bin Qāsim, menurutnya Abū Dāwud adalah orang yang ṡiqah,
zuhud, faham hadis serta menjadi imam pada masanya.[59]
Abū Dāwud adalah seorang tokoh ahli hadis yang menghafal dan
memahami hadis beserta illatnya, dia mendapatkan kehormatan dari para
gurunya terutama Imam Ahmad bin Hanbal.
Berdasarkan penelitian terhadap kualitas para perawi di atas, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa sanad hadis tersebut saling bersambung mulai
dari mukharrij-nya yaitu Abū Dāwud sampai kepada Ibn ‘Abbās. Persambungan
sanad terlihat dengan adanya pertemuan guru dan murid, antara periwayat yang
satu dengan periwayat sesudahnya serta seluruh rawi hadis termasuk dalam
kategori ṡiqah.
Beberapa
komentar ulama mengenai kualitas hadis ini, di antaranya Abū Abdirrahman
Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani (1333 H - 1420 H) berkomentar dalam
kitab Shahih wa Ḍaif al-Jami’ as-Ṣagir pada hadis nomer 14113 hadis Ibn ‘Abbās
yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud tentang mengecat rambut ini merupakan hadis
yang ṣahih.[60]
Abū Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hākim
al-Naisaburi (321 H/933 M - 405
H/1014 M) berkomentar dalam kitab Ṣahih Targīb wa Tarhīb pada nomer
hadis 2097 hadis Ibn ‘Abbās
yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud tentang mengecat rambut ini merupakan hadis
yang ṣahih sanadnya.[61]
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadis yang berbicara tentang mengecat rambut dengan warna hitam
yang menjadi objek material penelitian ini merupakan hadis yang sampai
ketingkatan Nabi. Dengan demikian hadis ini bersifat marfu’. Bila ditilik
dari segi ketersambungan sanadnya, maka hadis ini dapat disimpulkan sebagai hadis
yang bersambung sanadnya. Demikian juga dengan kualitas dan integritas
periwayatnya, mayoritas kritikus hadis tidak mempersoalkannya, atau dengan kata
lain seluruh periwayat yang meriwayatkan hadis ini semuanya masuk dalam
kategori ṡiqah. Sehingga hadis ini bisa diakui ke-hujjah-annya.
B.
Saran-saran
Melalui penelitian ini, maka sesuatu yang patut dilakukan kemudian
menurut penulis adalah perlu dikembangkan lagi dengan adanya penelitian matan
mengenai hadis ini, hal itu perlu untuk mengkorelasikan kandungan hadis yang
kami teliti dengan realitas yang ada sekarang ini. Meskipun dari segi kualitas
sanad hadis ini merupakan hadis yang bisa diterima ke-hujjah-annya akan tetapi
mungkin dengan adanya penelitian matan maka akan ada pertimbangan-pertimbangan
lain dalam menerapkan redaksi hadis ini ketika dikaitkan dengan konteks hukum
mengecat rambut dengan warna hitam dan dengan konteks kekinian
C.
Kata Penutup
Alhamdulillah,
rasa puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas terselesaikannya
penulisan ini dengan judul “Hadis Riwayat Ibn ‘Abbās Tentang Mengecat Rambut
Dengan Warna Hitam” studi kritik sanad. Sumbangan komentar serta kritik guna
penambahan dan perbaikan atas penelitian ini adalah harapan yang tiada putusnya
bagi penulis. Karena bagaimanapun, penelitian ini hanya merupakan sekelumit
dari sekian transformasi intelektual penulis. Amin..
DAFTAR
PUSTAKA
Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin
Syidad bin ‘Amar al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abū Daud, Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005 M.
Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr, Sunan
an-Nasa’i, Riyaḍ: Maktabah
ar-Rusyd, 2005 M.
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad
al-Marwazi al-Baghdadi, Musnad
Ahmad ibn Hanbal, Riyaḍ:
Maktabah ar-Rusyd, 2005 M.
Abū Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin
Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi, Ṣahih Muslim, Riyaḍ:
Maktabah ar-Rusyd, 2005 M.
Abū Abdullah Muhammad bin Ismāil al-Bukhāri, Ṣahih al-Bukhari,
Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 2005 M.
Syihāb al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib at-Tahżib,
Beirut: Dar as-Ṣādir, 1325 H.
Juynboll G.H.A., Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa
Awal: Studi Analisis Hadis, Jakarta: INIS, 1993 M.
Itr, Nurud-Din, Manhaj an-Naqd, Beirut: Dārul Fikr,
1979 M.
Al- Alāmah Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Beirut:
Dārul Hadīs al-Qāhirah, 2003 M.
Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis,
Jakarta: Bulan Bintang, 2005 M.
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,
Jakarta: Bulan Bintang, 1992 M.
Nazir, M, Metodologi Penelitian, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1998 M.
Abū Hanīfah ad-Dīnawari, Wiesbaden 1974 M.
Abū Hanīfah ad-Dīnawari, Kairo 1973 M.
Lewin, Bernhard, Qira’ah Min al-Juz al-Khamis Min Kitāb
an-Nabāt, Uppasala 1953 M.
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama 4, 2003
M
Maktabah Syamilah, versi 10.000
kitab. 20 GB
CD Mausū’ah al-Hadīs
al-Syarīf
KBBi Off Line, V1.1
Kutu Internet, fenomena Hair Drying./Fenomena Hair Dying
(Menyemir Rambut) - Kutu Internet_files/Fenomena Hair Dying (Menyemir Rambut) - Kutu Internet.htm
Lampiran : Skema Sanad Hadis
عبد الله بن جعفر الرقي
|
حسين وأحمد بن عبد الملك
|
أَبُو تَوْبَةَ
|
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُبَيْدِ
اللهِ الْحَلَبِيُّ
|
عُبَيْدُ اللَّهِ
|
عَبْدِ الْكَرِيمِ الْجَزَرِىِّ
|
سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ
|
ابْنِ عَبَّاسٍ
|
رَسُولُ اللَّهِ
|
(1)
قَالَ (3) أن (4) عن
(2)
عن
عن
عن
(1)
(1) Abū Daud
|
أبى
|
زهير
|
(2) An-Nasai’i
|
عبد الله
|
(3)
Abū Ya’la
|
(4)
Ahmad
|
[1] Abū Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi
an-Naisaburi, Ṣahih Muslim,
(Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005), juz 1, hlm. 65, no. 275.
[2] Abū Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi
an-Naisaburi, Ṣahih Muslim,
(Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005), juz 6,
hlm. 210, no. 5681
[3] Abū
‘Abdullah Muhammad bin Ismāil
al-Bukhāri, Ṣahih al-Bukhari,(Riyaḍ, Maktabah ar-Rusyd, 2005),
juz 7, hlm. 207, no. 5899.
[4] Abū Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi
an-Naisaburi, Ṣahih Muslim,
(Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005), juz 6, hlm. 155, no. 5631,
[5] Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin
Syidad bin ‘Amar al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abū Dāud, (Riyaḍ:
Maktabah ar-Rusyd), no.4212, hlm. 266
[6] Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin
Syidad bin ‘Amar al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abū Dāud, (Riyaḍ:
Maktabah ar-Rusyd), juz 4, hlm. 266, no.4214.
[7] Dr.
G.H.A. Juynboll, Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa Awal: Studi
Analisis Hadits.(Jakarta:INIS, 1993), hlm. 1
[8] http://ustadzaris.com/bolehkah-menyemir-rambut-dengan-warna-hitam/feed, diunduh pada :20-05-2012, pukul : ±20:35
[9] http://nawwaf.wordpress.com/2009/02/01/hukum-mewarnai-rambut/feed/, Diunduh pada : 20-05-2012 pukul : ±21.45
[10] Tanya Jawab Agama, jilid 4, hlm. 24
[12]
KBBi Off Line, v1.1
[13]
Al-Alāmah Ibn Manẓūr, Lisan al-‘Arab, (Dār al-Hadīs al-Qāhirah,
2003) juz XXI: 456-463.
[14]
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005),
hlm. 131-139
[15] Ibid.,
hlm. 137-139
[16]
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,
2005), hlm. 133-140
[17] Ibid.,
hlm. 138 dan 166
[19]
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), hlm. 66
[20]
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,
2005), hlm. 140
[23] KBBI Off Line, v1.1
[24] M.
Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 63
[25] M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), hlm. 43.
[26] Ibid.,
hlm. 49.
[27] Dr.
G.H.A. Juynboll, Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa Awal: Studi
Analisis Hadis.(Jakarta:INIS, 1993), hlm.19.
[28]
Qira’ah Min al-Juz al-Khamis Min Kitāb an-Nabāt, ed. Bernhard Lewin,Uppasala
1953, hlm. 106.
[29] Abū
Hanīfah ad-Dīnawari, Kitab an-Nabāt (Wiesbaden ,1974), hlm. 179.
[31] Ibid.,
hlm. 180
[32] Ibid.,
hlm. 180-183.
[33]
KBBi Off Line, v1.1
[36] Dr.
G.H.A. Juynboll, Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa Awal: Studi
Analisis Hadis.(Jakarta:INIS, 1993), hlm. 23
[37] Abū Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin
Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi, Ṣahih Muslim,
(Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd) , juz 6, hlm.
155, no. 5631.
[38] Dr.
G.H.A. Juynboll, Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa Awal: Studi
Analisis Hadits.(Jakarta:INIS, 1993), hlm. 25
[39] Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad
al-Marwazi al-Bagdadi, Musnad Ahmad ibn Hanbal, (Riyaḍ: Maktabah
ar-Rusyd, 2005), juz 1, hlm. 451, no. 2474.
[40] Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad
bin Amar al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abū Daud, (Riyaḍ: Maktabah
ar-Rusyd, 2005), juz 11, hlm. 266, no.4212.
[41] Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr,
Sunan an-Nasa’i,
(Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005) , juz 8, hlm.138 no.5075.
[42] Muhammad bin al-Husein bin Muhammad bin
Khalaf bin Ahmad bin al-Farra’, Musnad
Abū Ya’la, (al-Maktabah as-Syamilah), juz 4, hlm. 471, no. 2603.
[44]Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin
Amar al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abī Dāwud, (Riyaḍ: Maktabah
ar-Rusyd), juz 11, hlm. 266, no.4212.
[45] Syihāb al-Din Ahmad
ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib
at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir, 1325 H), jilid 5, hlm. 122
[46]
Syihāb al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib
at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir, 1325 H), jilid 5, hlm. 122
[47] Ibid. Jilid 4, hlm. 11
[48] Syihāb al-Din Ahmad
ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib
at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir, 1325 H), jilid 4, hlm. 12
[49] Ibid.
jilid 6, hlm. 374
[50] Ibid.
[51] Ibid.
[52] Syihāb al-Din Ahmad
ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib
at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir, 1325 H),
jilid 6, hlm. 375
[53] Ibid.
jilid 7, hlm. 42
[54] Ibid.
[55] Ibid.
[56] Syihāb al-Din Ahmad
ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib
at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir, 1325), jilid 3, hlm. 251
[57] Ibid.,
hlm. 252
[58] Syihāb al-Din Ahmad
ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib
at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir, 1325 H), jilid 3, hlm. 252
[59] Syihāb al-Din Ahmad
ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib
at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir,1325 H), jilid 4, hlm. 169
[61] Ibid.,
0 komentar:
Posting Komentar