Pages

Labels

Rabu, 13 Juni 2012

HADIS RIWAYAT IBN ABBAS TENTANG MENGECAT RAMBUT DENGAN WARNA HITAM (STUDI KRITIK SANAD)


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Penampilan diri merupakan aspek yang sangat diperhatikan dalam Islam, karena Islam merupakan agama yang memberikan panduan dari hal-hal yang bersifat global sampai hal-hal yang bersifat pribadi, apalagi penampilan diri yang ada kaitannya dengan sunah Rasul dan kepribadian seseorang. Allah swt telah memilihkan untuk Nabi-Nya sunah-sunah dan memerintahkan kita untuk mengikuti Nabi dalam hal-hal tersebut sebagai syiar-syiar atau perlambangan dan juga sebagai ciri khas untuk mengenal para pengikut Nabi dan membedakan mereka dari golongan lain.
Berbicara mengenai masalah penampilan diri, secara fitrah semua orang pasti ingin tampil baik dan meyakinkan dihadapan orang lain, akan tetapi terkadang banyak orang yang tidak memperdulikan, membiarkan atau bahkan melupakan isi dari dirinya yang sebenarnya, sebab itu tidak sedikit orang tertipu oleh penampilan luar seseorang
.
Rasulullah saw bersabda dalam hadisnya:
إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ[1]
Artinya: Sesungguhnya Allah itu indah dan sangat mencintai keindahan...  (HR Muslim)

Rasulullah juga bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْقَزَعِ. قَالَ قُلْتُ لِنَافِعٍ وَمَا الْقَزَعُ قَالَ يُحْلَقُ بَعْضُ رَأْسِ الصَّبِىِّ وَيُتْرَكُ بَعْضٌ.[2]
Artinya: Dari Ibn Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw melarang al-Qaza’u, ia berkata: Aku berkata kepada Nafi’: apa itu al-Qaza’u? ia berkata: Menggundul sebagian rambut kepala dengan menyisakan sebagian yang lain. (HR al-Bukhari)

Dari dalil-dalil yang dikemukakan di atas, maka jelas bahwa agama Islam sangat memperhatikan aspek keindahan dalam diri umatnya dan juga aspek penampilan untuk menampakkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Rasullulah saw bersabda: Sesungguhnya Allah senang melihat tanda nikmat yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya. (HR at-Tirmiżi dan al-Hākim).
Di antara bagian tubuh yang sering diperhatikan dan menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi penampilan adalah rambut, posisinya yang berada di depan membuat rambut menjadi bagian tubuh yang termasuk pertama kali dilihat oleh orang lain dan menjadi pembeda atau ciri khas sebuah golongan. Sehingga diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah saw memerintahkan untuk menyemir rambut dikarenakan pada waktu itu orang Yahudi dan Nasrani tidak pernah menyemir rambut mereka, sehingga Rasulullah memerintahkan hal itu untuk menyelisihi orang Yahudi dan orang Nasrani. Rasulullah saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ.[3]
Artinya: Dari Abū Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani tidak pernah menyemir rambut mereka, maka berbedalah kalian dengan mereka. (HR al-Bukhari)

Pada hadis lain, Rasulullah memerintahkan sahabatnya untuk menyemir rambut yang sudah beruban, hal itu dimaksudkan untuk memperbaiki penampilan agar terlihat tetap gagah dan segar ketika hendak berperang.
Rasulullah saw bersabda:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أُتِىَ بِأَبِى قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « غَيِّرُوا هَذَا بِشَىْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ ».[4]

Artinya: Dari Jabir ra, ia telah berkata : Pada hari terjadinya Fathu Makkah, Abū Quhafah, ayahanda Abū Bakr as-Ṣiddīq, didatangkan kehadapan Rasulullah saw, sementara rambut kepala dan jenggotnya sudah memutih seputih ṡagāmah (tanaman yang berdaun dan berbunga putih), Rasulullah saw lalu bersabda: Semirlah rambutnya, hanya saja jangan dengan warna hitam.

Kedua hadis di atas dengan tegas menjelaskan adanya perintah dari Nabi saw untuk mengecat rambut dengan beberapa tujuan seperti disebutkan sebelumnya. Akan tetapi ternyata Rasulullah saw membatasi warna yang dipakai untuk mengecat rambut itu, hadis yang diriwayatkan dari Jabir di atas menunjukkan bahwa Rasul melarang penggunaan warna hitam dalam mengecat rambut. Bahkan dalam hadis yang akan penulis teliti secara lebih spesifik dan mendalam, yaitu hadis riwayat Ibn ‘Abbās, disebutkan bahwa Rasulullah saw mengecam keras bagi siapa saja yang menggunakan warna hitam untuk mengecat rambut.[5]
Ironisnya, di kalangan masyarakat sekarang ini, kebiasaan mengecat rambut sudah menjadi suatu hal dianggap biasa saja, baik itu di kalangan remaja yang ingin memoles diri supaya terlihat lebih keren dan gaul ataupun di kalangan orang tua yang ingin tetap terlihat muda. Apalagi jika kita perhatikan fenomena mengecat rambut di kalangan para artis, cat rambut mungkin sudah menjadi sebuah kebutuhan dalam rangka memaksimalkan pekerjaan mereka di bidang entertainment, bahan warna yang digunakan pun sudah tidak diperdulikan lagi, baik itu warna hitam, merah, kuning, emas dan yang lainnya, yang terpenting mereka bisa terlihat sesuai dengan apa yang mereka inginkan atau sesuai dengan tuntutan profesi yang mereka jalani. Maka tentunya dari sini akan timbul pertanyaan, jika realita di masyarakat mengenai fenomena mengecat rambut ternyata seperti ini, bagaimana status kehujjahan hadis riwayat Ibn ‘Abbās yang mengecam  pemakaian warna hitam dalam mengecat rambut dengan ancaman yang cukup keras yaitu  bagi mereka yang mengecat rambut menggunakan warna hitam maka mereka tidak akan mencium bau surga.
حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ الْجَزَرِىِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ[6]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abū Taubah, telah menceritakan kepada kami, Ubaidillah dari ‘Abdul Karīm al-Jazari dari Sa’īd bin Jubair dari Ibn ‘Abbās ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.

Mengecat rambut kepala memang merupakan masalah yang banyak diperdebatkan dalam Islam, bahkan sejak masa awal. Suatu kebiasaan bersolek yang tampaknya sepele namun dalam banyak hal telah membingungkan banyak orang. Hal ini jelas, mengingat adanya referensi yang tak terbilang banyaknya di dalam sumber-sumber Islam kuno. Banyak masalah yang timbul dalam pembahasan kajian ini, di antaranya ialah mengapa hal itu menjadi masalah penting? Apakah yang dipertaruhkan sehingga tradisi yang tersebar di dalam sumber-sumber yang berasal baik dari Nabi maupun dari para tokoh pendahulu, di mana kebiasaan mengecat ditolak atau tegas-tegas dianjurkan. Bahan-bahan cat tertentu dipandang sebagai halal dan yang lain sebagai haram? Kapankah berita tentang masalah mengecat itu timbul? dari manakah asal berita itu? siapakah yang bisa dianggap bertanggung jawab dalam hal tersiarnya berita sehingga sementara sengaja membiarkannya tetap dipersoalkan, namun sepintas lalu seperti tak memerlukan perhatian terlalu besar?.[7] Semua permasalah ini merupakan permasalahan yang cukup rumit dan butuh pengkajian secara mendalam untuk bisa menemukan titik temu sehingga bisa diambil kesimpulan yang bisa dipegang dan dipertanggungjawabkan.
Dalam penyusunan risalah ini, penulis akan menspesifikasikan pengkajian permasalahan dengan mengkaji validitas salah satu hadis yang berbicara mengenai mengecat rambut, yaitu hadis riwayat Ibn ‘Abbās yang akan dikaji pada pembahasan-pembahasan selanjutnya.

B.  Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.    Bagaimana mengetahui validitas sanad hadis riwayat Ibn ‘Abbās tentang mengecat rambut dengan warna hitam dan kehujjahannya?

C.  Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah menerapkan teori kritik sanad untuk meneliti validitas sanad hadis riwayat Ibn ‘Abbās tentang mengecat rambut dengan warna hitam.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
a)    Memberikan gambaran kualitas kesahihan sanad hadis riwayat Ibn ‘Abbās tentang mengecat rambut dengan warna hitam.
b)   Sebagai suatu informasi dan masukan bagi masyarakat umum yang sekarang ini banyak menggunakan cat rambut.

D.  Tinjauan Pustaka
1.    Makalah Tentang Hadis-Hadis Mengecat Rambut Dan Hukum Mewarnai Rambut Dengan Warna Hitam. [8]
Seiring berjalannya waktu rambut di kepala dan jenggot tak terasa memutih. Menyikapi fenomena ini sebagian orang berinisiatif untuk menyemir rambutnya. Tak sedikit yang memilih warna hitam. Rasulullah saw bersabda:
Dari Abū Hurairah, Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani itu tidak menyemir uban. Oleh karena itu selisihilah mereka. (HR al-Bukhari)
Hadis ini menunjukkan adanya anjuran untuk mengubah warna uban dengan yang lainnya dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi yang memiliki ciri khas tidak mau mengubah warna uban.
Dari Jabir bin Abdillah, Abū Quhafah (bapak dari Abū Bakr) didatangkan ke hadapan Nabi saat Fathu Makkah dalam kondisi rambut kepala dan jenggotnya putih semua bagaikan ṡagāmah (pohon yang daun dan bunganya berwarna putih). Nabi saw lantas bersabda: Ubahlah uban ini dengan sesuatu namun jauhilah warna hitam. (HR Muslim).
Dari Ibn ‘Abbās, Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surge. (HR Abū Daud dan dinilai ṣahih oleh al- Albani).
Dua hadis ṣahih di atas menunjukkan dengan tegas bahwa menyemir uban dengan warna hitam itu dilarang secara umum baik orang yang sudah sangat tua ataupun tidak. Di samping itu larangan dari Nabi saw untuk salah satu umatnya itu berlaku untuk seluruh mereka kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.
Bahkan hadis yang kedua menunjukkan bahwa menyemir uban dengan warna hitam itu termasuk dosa besar. Oleh karena itu Ibn Hajar al-Haitami al-Makki mengkategorikan perbuatan ini sebagai dosa besar sebagaimana dalam al-Zawajir. Pernyataan beliau tersebut dikuatkan oleh hadis berikut ini.
Dari Abū Darda’, Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang menyemir uban dengan warna hitam maka Allah akan menghitamkan wajahnya pada hari Kiamat nanti. (HR al-Thabrani).
Dari Mujāhid, seorang tābi’īn, ia berkata: Di akhir zaman nanti ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam. Allah tidak akan memandang mereka atau tidak ada bagian dari akherat untuk mereka. (HR Abdu al-Razak).
Dari Ibn Syihab az-Zuhri, beliau berkata: Kami semir uban dengan warna hitam ketika wajah masih tampak muda. Namun ketika wajah sudah tidak lagi muda dan gigi sudah ompong maka kami biarkan sebagaimana apa adanya. (Riwayat Ibn Abī ‘Āṣim dalam kitab al Khiḍab dan dinuqil oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari).
Berdasarkan riwayat ini sebagian orang mengatakan bahwa larangan menyemir dengan warna hitam itu hanya berlaku untuk orang yang sudah sangat tua yang semua rambut kepala dan jenggotnya sudah beruban sedangkan orang yang keadaan dan usianya belum sebagaimana Abū Quhafah maka tidak dosa jika menyemir uban dengan  warna hitam.
Namun pendapat semacam ini jelas kurang tepat dengan beberapa alasan.
a)    riwayat tersebut adalah perkataan seorang tābi’īn dan pendapat seorang tābi’īn sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
b)   perkataan dan perbuatan siapapun tidak bisa menjadi dalil jika bertolak belakang dengan hadis Nabi. Tiga hadis yang telah kami sampaikan di atas adalah dalil yang menunjukkan kelirunya orang-orang yang mengatakan adanya rincian dalam masalah ini. Sabda Nabi kepada Abū Quhafah, ‘Jauhilah warna hitam tidaklah menunjukkan adanya rincian dalam masalah ini.
c)    Al-Albani mengomentari perkataan az-Zuhri, “Di samping riwayat ini tidak layak dijadikan hujah karena faktor yang telah kami sebutkan (yaitu pendapat tābi’īn), secara makna riwayat tersebut juga tidak menunjukkan adanya rincian dan juga tidak menunjukkan bahwa az- Zuhri berpendapat haramnya semir dengan warna hitam untuk orang yang semua rambutnya sudah memutih. Karena riwayat tersebut hanya menceritakan perbuatan dan sikap az-Zuhri dan hal ini semata tidaklah menunjukkan haramnya bersemir dengan warna hitam untuk orang yang semua rambutnya sudah memutih.
Secara implisit riwayat tersebut menunjukkan bahwa az-Zuhri sama sekali belum menjumpai hadis yang melarang bersemir dengan warna hitam. Oleh karena itu, beliau mengambil tindakan hanya dengan dasar perasaan. Bersemir dengan warna hitam ketika wajah masih nampak muda dan tidak lagi bersemir dengan warna hitam setelah berusia lanjut.
Bahkan Ma’mar, salah seorang murid az-Zuhri malah mengatakan, “Az-Zuhri itu bersemir dengan warna hitam” (Riwayat Imam Ahmad 2/309 dengan sanad yang ṣahih sampai kepada Ma’mar)
Dalam riwayat ini Ma’mar menjelaskan bahwa Az-Zuhri bersemir dengan warna hitam, tanpa memberi rincian atau mengkhususkannya dalam kondisi tertentu.

2.    Artikel Tentang Beberapa Pendapat Mengenai Mengecat Rambut Dengan Warna Hitam. [9]
a.    Bagi orang yang sudah tua dan ubannya sudah merata maka tidak layak mengecat rambut dengan warna hitam. Pendapat ini didasarkan pada hadis nabi yang menerangkan ketika Abū Bakr  membawa ayahnya yaitu Abū Quhafah kehadapan Nabi ketika fathu Makkah sedang Nabi melihat rambutnya seperti pohon ṡagāmah yang serba putih baik bunganya maupun buahnya, beliau bersabda: Ubahlah ini (uban) tapi jauhilah warna hitam.
b.    Bagi orang yang belum seumur dengan Abū Quhafah (belum begitu tua) tidaklah berdosa jika menyemir rambutnya dengan warna hitam. Hal ini didasarkan pada perkataan az-Zuhri : kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah masih tampak muda, tetapi apabila wajah sudah mengerut dan gigi sudah goyah , kami tinggalkan warna hitam.
c.    Ada juga kalangan ulama yang berpendapat tidak boleh menyemir rambut dengan warna hitam kecuali ketika hendak berperang supaya menakutkan musuh ketika melihat tentara-tentara muslim Nampak masih muda-muda.
Secara lebih rinci maka bisa dilihat sekilas bagaimana konfigurasi singkat pendapat
 para ulama tentang mengecat atau mewarnai rambut dengan warna hitam.
Ulama Hanābilah, malikyah dan Hanafiyah menyatakan bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam dimakruhkan kecuali bagi orang yang hendak pergi berperang karena ada ijma’ yang menyatakan kebolehannya.
Abū Yusuf dari ulama Hanafiyah menyatakan bahwasanya mengcat rambut dengan warna hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasul: Sesungguhnya sebaik-baiknya warna untuk mengecat rambut adalah warna hitam, karena akanlebih menarik untuk istri-istri kalian dan lebih berwibawa dihadapan musuh-musuh kalian.
Ulama Mażhab Syafi’i berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam itu diharamkan kecuali bagi orang yang akan berperang. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw: Dari Ibn ‘Abbās ra, Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.
3.    Buku Tanya Jawab Agama.[10]
Buku ini menerangkan adanya perbedaan mengenai hukum mengecat rambut dengan warna hitam, namun dijelaskan dalam buku ini bahwa mayoritas ulama fiqih membolehkannya karena perintah untuk menjauhi warna hitam itu khusus untuk Abū Quhafah saja. Kemudian buku ini menjelaskan bahwa dalam mengecat rambut janganlah dimaksudkan untuk menyombongkan diri ataupun mengelabui orang lain, dan juga tidak boleh berlebihan.
Dari beberapa litelatur sebagaimana penulis paparkan di atas, memang penulis belum menemukan tulisan tentang tema yang sama dengan yang penulis teliti. Maka dalam hal ini penulis ingin mencoba mengkaji penelitian yang berbeda dari tulisan-tulisan yang telah ada yaitu suatu penelitian khusus membahas sanad hadis “Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga” yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbās dalam beberapa kitab hadis. Penelitian ini menggunakan disiplin ilmu hadis yaitu studi sanad. Dengan demikian, fokus penelitian ini adalah kajian atas sanad hadis, yang dititik beratkan pada ke-ṡiqahan-an periwayat dan ketersambungan sanad, sehingga dapat ditarik sebuah benang merah atas ke-hujjah-an hadis tersebut.

E.  Kerangka Teoretik
Dalam meneliti kualitas sanad, para ulama hadis sependapat bahwa ada dua hal yang harus diteliti pada diri pribadi periwayat hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah keadilan dan ke-ḍabit-annya. Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedang ke-ḍabitan-an berhubungan dengan kapasitas intelektual. Apabila kedua hal itu dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat tersebut dinyatakan sebagai orang yang bersifat ṡiqah. Istilah ṡiqah merupakan gabungan dari sifat adil dan ḍabit.[11] Untuk sifat adil dan sifat ḍabit, masing-masing memiliki kriteria tersendiri.
1.    Kualitas pribadi periwayat. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kualitas pribadi periwayat bagi hadis haruslah adil. Kata adil dalam hal ini tida sepenuhnya sama artinya dengan kata adil menurut bahasa Indonesia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa kata adil berarti “tidak berat sebelah (tidak memihak)” atau “sepatutnya;tidak sewenang-wenang”.[12]
Kata adil berasal dari bahasa Arab: ‘adl. Arti ‘adl menurut bahasa ialah pertengahan, lurus atau condong kepada kebenaran.[13]
Dalam memberikan pengertian istilah adil yang berlaku dalam ilmu hadis, ulama berbeda pendapat.  Dari berbagai perpedaan pendapat itu dapat dihimpunkan criteria kepada empat butir. Penghimpunan kriteria itu didasarkan pada kesamaan maksud tetapi berbeda dalam ungkapan sebagai akibat dari perbedaan peninjauan. Keempat butir sebagai criteria untuk sifat adil itu adalah :
a)    Beragama Islam
b)   Mukallaf
c)    Melaksanakan ketentuan agama
d)   Memelihara muru’ah. [14]
Beragama Islam menjadi salah satu kriterium keadilan periwayat apabila periwayat yang bersangkutan melakukan kegiatan penyampaian riwayat hadis. Untuk kegiatan menerima hadis, kriterium tersebut tidak berlaku. Jadi, periwayat ketika menerima riwayat hadis boleh saja tidak dalam keadaan memeluk agama Islam, asalkan ketika menyampaikan riwayat, dia telah memeluk agama Islam.
Mukallaf, yakni balig dan berakal sehat, merupakan salah satu kriterium yang harus dipenuhi oleh seorang periwayat ketika dia menyampaikan suatu riwayat. Untuk kegiatan penerimaan riwayat, periwayat tersebut boleh saja jika masih belum mukallaf, asalkan saja dia telah mumayyiz (dapat memahami maksud pembicaraan dan dapat membedakan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain). jadi, seorang anak yang menerima suatu riwayat, kemudian setelah mukallaf riwayat tersebut disampaikan kepada orang lain, maka penyampaian riwayat tersebut telah memenuhi salah satu kriterium kesahihan sanad hadis.
Tentang kriterium “melaksanakan ketentuan agama”, yang dimaksdukan ialah teguh dalam agama, tidak berbuat dosa besar, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat dan harus berakhlak mulia.[15]
Uraian tentang “melaksanakan ketentuan agama” tersebut memang ada yang tumpang tindih. Hal itu sebagai akibat dari peggabungan pendapat berbagai ulama tentang apa yang dimaksudkan dengan periwayat yang bersifat adil.[16]
Adapun memelihara muru’ah, seluruh ulama sependapat untuk menjadikannya sebagai salah satu kriterium sifat adil. Arti muru’ah ialah kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan. Hal itu dapat diketahui melalui adat istiadat yang berlaku di masing-masing tempat.[17] Contoh-contoh yang dikemukakan oleh ulama tentang prilaku yang merusak atau mengurang muru’ah antara lain ialah makan di jalanan, buang air kecil di jalanan, makan di pasar yang dilihat oleh orang banyak, memarahi istri atau anggota keluarga dengan ucapan kotor, dan bergaul dengan orang-orang yang berprilaku buruk. Bila periwayat hadis tidak memelihara muru’ah, maka dia tidak tergolong sebagai periwayat yang adil dan karenanya, riwayat-rwayatnya tidak diterima sebagai hujjah.
Berdasarkan kriteria sifat adil yang telah dikemukakan di atas, maka hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang suka berdusta, suka berbuat mungkar, atau sejenisnya, tidak dapat diterima sebagai hujjah. Bila riwayatnya dinyatakan jga sebagai hadis, maka hadisnya adalah hadis yang berkualitas lemah (ḍaif).
Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/1449 M), yang pendapatnya dalam hal ini diperjelas antara lain oleh ‘Ali al-Qari (wafat 1014 H), prilaku atau keadaan yang merusak sifat adil yang termasuk berat ialah :
a)    Suka berdusta (al-Każib)
b)   Tertuduh telah berdusta (at-Tuhmah bi al-Każib)
c)    Berbuat atau berkata fasik tetapi belum menjadikannya kafir (al-Fisq)
d)   Tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan diri orang itu sebagai periwayat hadis (al-Jahalah)
e)    Berbuat bid’ah yang mengarah pada fasik tetapi belum menjadikannya kafir (al-Bid’ah)[18]
Dari kelima keadaan atau prilaku yang merusak berat sifat adil tersebut, butir-butir yang dikemukaan terdahulu lebih berat dari pada butir-butir yang dikemukakan berikutnya.
2.    Kapasitas Intelektual Periwayat. Intelektual periwayat harus memenuhi kapasitas tertentu sehingga riwayat hadis yang disampaikannya dapat memenuhi salah satu unsur hadis yang berkualitas sahih. Periwayat yang kapasitas intelektualnya memenuhi syarat kesahihan sanad hadis disebut sebagai periwayat yang ḍabit.
Arti harfiyah ḍabit ada beberapa macam, yaitu dapat berarti yang kokoh, yang kuat, yang tepat dan yang hafal dengan sempurna. [19] Pengertian harfiyah tersebut diserap ke dalam pengertian istilah dengan dihubungkan dengan kapasitas intelektual. Ulama hadis memang berbeda pendapat dalam memberikan pengertian istilah untuk kata ḍabit. Namun perbedaan itu dapat dirumuskan dengan memberi rumusan sebagai berikut :
a.    Periwayat yang bersifat ḍabit adalah periwayat yang :
1)   Hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya
2)   Mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain
b.    Periwayat yang bersifat ḍabit adalah periwayat  yang selain disebutkan dalam butir pertama di atas, juga dia mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya itu.[20]
Rumusan tentang ḍabit yang disebutkan pada butir kedua lebih sempurna daripada rumusan yang disebutkan pada butir pertama. Rumusan pertama merupakan kriteria sifat ḍabit dalam arti umum, sedangkan rumusan yang kedua merupakan rumusan sifat ḍabit yang lebih sempurna dari yang umum itu. Ke-ḍabit-an yang disebutkan kedua disebut sebagai tāmm ḍabit atau ḍabit plus.[21]
Jika pada sifat adil ada prilaku atau keadaan yang bisa merusak, maka pada sifat ḍabit juga ada prilaku  atau keadaan yang bisa merusak. Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam hal ini pendapatnya dijelaskan oleh ‘Ali al-Qari juga, prilaku atau keadaan yang bisa merusak ke-ḍabit-an seorang periwayat ada beberapa macam, yaitu:
a)    Dalam meriwayatkan hadis, lebih banyak salahnya daripada benarnya (fahusya galaṭuhu)
b)   Lebih menonjol sifat lupanya daripada sifat hafalnya (al-Gaflah ‘an al-Itqan)
c)    Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan (al-Wahm)
d)   Riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang ṡiqah.(mukhalafah ‘an as-Ṡiqah)
e)    Jelek hafalannya, walaupun ada juga sebagian riwayatnya yang benar (su’ul hifẓi).
Butir-butir yang disebutkan terdahulu lebih berat daripada yang disebutkan kemudian. Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang memiliki sebagian dari sifat-sifat tersebut dinilai oleh ulama hadis sebagai hadis yang berkualitas lemah.[22]
Maka penelitian ini juga akan menggunakan teori yang dipakai oleh Syuhudi Ismail sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu meneliti kesahihan sanad hadis yang didasarkan kepada ke-ṡiqah-an periwayat.

3.     Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian bersifat library research (penelitian kepustakaan) dengan menggunakan sumber-sumber data dari bahan-bahan tertulis dalam bentuk kitab, buku, artikel dan lain-lainnya yang relevan dengan topik penelitian.
Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.    Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan murni, yaitu pengumpulan data baik primer maupun sekunder. Adapun data primer yang penulis pergunakan dalam meneliti ini adalah beberapa kitab hadis, antara lain : Sunan Abū Dāud, Tahẓīb at-Tahẓīb, kitab-kitab syarah dan lain-lainnya. Sebagai langkah awal dari peneltian ini, penulis menggunakan kitab Al-Kutub as-Sittah dan juga dengan mengguakan CD Mausū’ah al-Hadīs as-Syarīf.
2.    Analisis Data
Dalam menganalisis data yang telah diperoleh dari penelitian perpustakaan, data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan analitis. Deduksi merupakan langkah analisis dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.[23] Sedangkan analitis suatu langkah untuk menguraikan data secara cermat dan sistematis[24], antara lain dengan melakukan takhrīj al-Hadis[25], yaitu suatu penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.
Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan i’tibār,[26] yaitu menyertakan sanad-sanad lain untuk suatu hadis tertentu, maka dengan menyertakan sanad-sanad lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang dimaksud. Langkah ini dimaksudkan untuk memperjelas seluruh sanad hadis yang diteliti, juga nama periwayat dam metode yang digunakan. Untuk memperjelas dan mempermudah proses kajian i’tibar, maka langkah yang ditempuh adalah pembuatan skema sanad dengan memperhatikan jalur seluruh sanad yang akan diteliti, termasuk nama periwayatnya.

4.    Sitematika Pembahasan
Agar penelitian ini lebih terarah dan lebih sistematis maka penulsi akan memaparkan gambaran umum tentang tahapan-tahapan penelitian dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I, bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.
Bab II, di sini penulis memaparkan gambaran umum tentang mengecat rambut yang terdiri dari satu sub bab yaitu: mengecat rambut dalam sejarah. Dalam hal ini penulis berharap gambaran umum tentang mengecat rambut dalam sejarah Islam ini bisa menjadi keterangan pengantar sebelum memasuki pembahasan utama. 
Bab III, dalam bab ini penulis membagi kepada dua sub bab yaitu: pertama: teks-teks hadis dan i’tibār, kedua: analisis kualitas sanad.
Bab VI, ini merupakan bab bagian terakhir penelitian ini yang berisi kesimpulan, saran-saran dan kata penutup dari pembahasan-pembahasan sebelumnya.








BAB II
GAMABARAN UMUM TENTANG MENGECAT RAMBUT

Mengecat Rambut Dalam Sejarah
Referensi tentang digunakannya hinnā, bahan mengecat yang paling lazim di Arab, terdapat sangat banyak dalam syair pra-islam. [27] Hinnā atau Lawsonia inermis, terdapat di mana-mana yaitu di tempat tumbuhan ini masih tumbuh. Abū Hanīfah ad-Dinawarī (w. 282 [895]) menyebutnya sebagai lazim di ‘negeri Arab’. [28] bahan pengecat lain yang kurang terkenal adalah katam (Isatis tinctoria), diduga agak jarang terdapat di semenanjung Arabia,[29] yang seandainya ada dipakai sebagai bahan campuran agar memperkeras dan mempergelap warna hinnā yang biasanya kuning atau orange. Istilah teknis untuk bahan campuran itu ialah syibāb.[30] syibāb- syibāb lain untuk hinnā itu ialah wasmah,  yaitu tumbuhan penghasil indigo yang disebut pastel; khitr,[31] yang dipandang sama seperti katam atau wasmah; sanā, sabīb, dan lain-lain.[32] Biasanya cat itu diperoleh dengan cara mengeringkan daun tumbuhan tersebut, kemudian menumbuknya, dan dengan dicampur sedikti air diaduk sehingga menjadi semacam tapal (pasta)[33].penggunaan syibāb sebagai campuran hinnā bisa diduga telah menjadi kebiasaan yang lazim, apabila kita membaca bagaimana sebuah sumber dari zaman pertengahan akhir menguraikan tentang hinnâ itu. Bisa kita baca dalam Ibn al-Baitar (w. 646 [1248]) bahwa hinnā itu menghitamkan rambut dan mencegahnya dari kerontokan.
Apabila kita membaca syair-syair yang dikumpulkan oleh Abū Hānifah ad-Dināwarī, sebagian besar dari referensi di dalam syair-syair kuno itu, bahan-bahan cat seperti  hinnā lebih sering digunakan untuk mengecat kuku jari tangan dan kaki, demikian juga bagian-bagian pada tangan dan kaki. Adat kebiasaan ini masih berlaku, dan dengan indahnya dilukiskan di dalam tulisan Lane Mesir abad ke-19. Tetapi di tempat lain kita bisa dapati  referensi tentang hinnā sebagai bahan yang digunakan untuk mengecat rambut. [34] Hinnā juga digunakan untuk hal lain seperti untuk membuat semacam minyak wangi, karena konon katanya bunga dari hinnā itu sangat harum. Bunga ini bernama fagiyah, nama ini digunakan secara khusus untuk menyebut bunga hinnā. Dari bunga inilah dibuat semacam minyak wangi.[35]
Uraian tersebut di atas menjelaskan kepada kita bahwa membicarakan kebiasaan mengecat di dalam Islam masa purba mengharuskan kita untuk juga membedakan adanya bermacam-macam bahan pewarna itu; dari tumbuhan apa diperoleh, warna apa yang diperoleh dan bahan-bahan pewarna apa lagi lainnya yang digunakan, baik untuk rias maupun mewarnai pakaian.
Dalam konteks masyarakat Kristen Siria, belum ditemukan petunjuk jelas satu pun, apakah mereka menentang atau justru menyetujui adat kebiasaan tersebut. Seorang penyair Kristen, al-Akhtal berpendapat bahwa tidak ada perlunya mengecat rambut atau janggut yang putih. Orang-orang Yahudi terkadang mengecat rambut mereka , meskipun ayat “… orang laki-laki janganlah mengenakan pakaian orang perempuan” (Ulangan XXII, 5) dengan jelas   mencegah orang laki-laki mengecat rambut seperti halnya orang perempuan. Beda halnya dengan orang Persia dari kerajaan Sasan yang agaknya mereka menyukai kebiasaan mengecat rambut itu. Warna putih dipandang sama dengan ‘tak berwarna’ berarti ‘umur tua yang memuakkan’. Walaupun di dalam kitab-kitab Avesta atau Zoroaster umumnya referensi tentang mengecat rambut itu tidak bisa dilacak, namun bangsa Persia baik yang kuno maupun yang modern pada umumnya dilukiskan sebagai orang-orang yang suka mengecat rambut. Di Romawi kuno para penyair biasa mengecat rambut mereka pirang, apabila kekasih mereka berambut demikian.akhirnya di Mesir koptik rambut putih atau ubanan bisa juga disebut rambut yang harus dibuat hitam.[36]
Berdasarkan adanya keterangan-keterangan tentang kebiasaan ini di dalam syair-syair pra-Islam seperti tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa mengecat rambut merupakan kebiasaan yang cukup dikenal di Arabia pra-Islam. Tetapi oleh karena sedikitnya alat-alat pewarna yang seringkali harus diimpor dari luar negeri, menyebabkan kebiasaan itu dipraktikan secara terbatas saja. Selanjutnya, bahwa kebiasaan itu memang sudah dikenal di Semenanjung, hal ini bisa disimpulkan dari praktik yang mungkin telah dikenal di mana-mana oleh masyarakat-masyarakat di sekitar semenanjung itu. Namun demikian, meskipun hinnâ mungkin merupakan tumbuhan semak biasa, tetapi syibāb- syibāb-nya, seperti katam pada umunya tidak demikian. Maka dalam hal ini timbul pertanyaan apa manfaat mengecat rambut putih dengan warna kuning/orange? jika ia memang menginginkan agar warna putih yang memuakan itu tersembunyi? Bukankah alat yang dicampur dengan suatu syibāb yang menghasilkan warna hitam atau setidak-tidaknya warna gelap jauh lebih populer bagi orang yang ingin menyembunyikan warna ubanan atau putih mereka, dari pada keinginan untuk mengecatnya dengan warna kuning atau orange dengan keadaan mereka yang terbiasa menjadi beruban? Maka mungkin kesimpulannya adalah hinnā digunakan secara hemat karena jarang adanya. Dan bahan pewarna ini bagaimanapun juga jarang dicampur dengan bahan penggelap warna. Perkiraan-perkiraan demikian kiranya juga didukung oleh laporan-laporan awā’il (nilai sejarah dari berita-berita) yang ada.
Sebuah laporan awā’il (nilai sejarah dari berita-berita) melukiskan diperkenalkannya kebiasaan mengecat rambut putih pada masa awal Islam. Tak lama sesudah Mekah ditaklukkan, ayah Abū Bakr, Abū Quhafah, lelaki dengan rambut dan janggut seputih bunga ṡagāmah dihadapkan kepada Muhammad. Diberitakan bahwa Muhammad berkata ketika itu: Ubahlah (uban) ini, asalkan jangan menggunakan cat hitam. Lalu orang pun mengecat rambut dan janggut Abū Quhafah dengan warna merah.[37]
Hadis tersebut memberikan penjelasan bahwa Nabi menuntut supaya cat hitam tidak dipergunakan, namun Nabi cenderung memilih kepada sesuatu yang dibuat dari hinnā, meskipun tanpa menyebutkannya secara langsung. Sedangkan adanya perintah Nabi kepada Abū Quhafah agar dia bersedia mengecat rambutnya dengan anjuran untuk memilih bahan cat berwarna orange daripada warna hitam dapat diartikan sebagai tindakan tegas Nabi untuk menegur dan menunjukan kekuasaanya terhadap seseorang yang beberapa saat lalu meruapakan salah seorang di antara musuh-musuhnya di Mekah.[38]












BAB III
KLASIFIKASI DAN NILAI KUALITAS HADIS RIWAYAT IBN ‘ABBĀS TENTANG MENGECAT RAMBUT DENGAN WARNA HITAM.

A.  Teks-Teks Hadis dan I’tibār
Dalam mencari hadis-hadis tentang mengecat rambut ini, penulis  menggunakan metode takhrīj al-Hadis bi al-Lafẓ melalui kata yakh’ḍibūna (يَخْضِبُونdengan menggunakan kitab Al-kutubu as-Sittah. Namun untuk mendapatkan keterangan yang lebih lengkap penulis juga menggunakan CD Mausū’ah al-Hadīs as-Syarīf dalam melakukan penelusuran ini mengingat bahwa CD  Mausū’ah al-Hadīs as-Syarīf  merupakan kumpulan kitab-kitab hadis berupa bentuk CD dimana itu merupakan hasil dari kemajuan teknologi.
Dalam penelusuran melalui sumber-sumber tersebut, dapat dilacak bahwa teks-teks hadis tentang mengecat rambut yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās itu terdapat dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal yaitu pada hadis nomer 2474, kemudian dalam kitab Sunan Abū Daud yaitu pada hadis nomer 4212,  kemudian dalam kitab Sunan an-Nasa’i yaitu pada hadis nomer 5075, kemudian dalam kitab Musnad Abū Ya’la  yaitu pada hadis nomer 2603.
Adapun redaksi Hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal bab Musnad Abdullah ibn ‘Abbās nomer 2474.
حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا حسين وأحمد بن عبد الملك قالا ثنا عبيد الله يعنى بن عمرو عن عبد الكريم عن بن جبير قال أحمد عن سعيد بن جبير عن بن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : يكون قوم في آخر الزمان يخضبون بهذا السواد قال حسين كحواصل الحمام لا يريحون رائحة الجنة[39].

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepadaku Ubai, telah menceritakan kepada kami Husain dan Ahmad bin ‘Abdul Malik, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah yaitu Ibn ‘Amr dari Abdul Karīm dari Jubair, Ahmad berkata: Dari Sa’īd bin Zubair, dari Ibn ‘Abbās, dari Nabi saw beliau bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam, Husain berkata : Bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.

2. Kitab Sunan Abū Dāwud bab Mā Jâ’a Fȋ Khiḍabi bi Sawād nomer 4212
حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ الْجَزَرِىِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ[40]

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abū Taubah, telah menceritakan kepada kami, Ubaidillah dari Abdul Karīm al-Jazari dari Sa’īd bin Jubair dari Ibn ‘Abbās ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.

3. Kitab Sunan an-Nasa’i bab Annahyu An Alkhiḍabi Bi Sawād nomer 5075
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ الْحَلَبِيُّ ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ وَهُوَ ابْنُ عَمْرٍو ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ ، رَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ : قَوْمٌ يَخْضِبُونَ بِهَذَا السَّوَادِ آخِرَ الزَّمَانِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ ، لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.[41]

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ubaidillah al-Halabi, dari Ubaidaillah, dia adalah Ibn ‘Amr, dari Abdul Karīm, dari Sa’īd bin Jubair, dari Ibn ‘Abbās, ia memarfukan hadis ini bahwa Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.

4. Kitab Musnad Abū Ya’la bab Awālu Musnad Ibn ‘Abbās nomer 2603.
حدثنا زهير حدثنا عبد الله بن جعفر الرقي حدثنا عبيد الله يعني ابن عمرو عن عبد الكريم عن سعيد بن جبير : عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : قوم يخضبون بالسواد في آخر الزمان كحواصل الحمام لا يريحون رائحة الجنة[42]

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ja’far ar-Raqi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah yaitu Ibn ‘Amr dari Abdul Hakīm, dari Sa’īd bin Jubair, dari Ibn ‘Abbās bahwa Nabi saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.

Selanjutnya dalam penelitian sebuah hadis, i’tibār diperlukan untuk mengetahui keadaan sanad hadis secara keseluruhan dilihat dari ada atau tidaknya pendukung pada periwayat yang berstatus sebagai syāhid dan muttābi’. Dalam istilah ilmu hadis, i’tibār berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk hadis-hadis tertentu yang pada bagian sanad-sanad tampak hanya terdapat seorang perawi saja dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain akan terlihat ada atau tidaknya periwayat lain untuk bagian sanad dari sanad hadis tersebut.[43] Melalui i’tibār, akan terlihat dengan jelas dan sitematis seluruh jalur sanad dari hadis yang sedang diteliti, nama-nama seluruh periwayat serta metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.
Singkatnya, dengan kegiatan i’tibār ini akan dapat diketahui dengan mudah sanadnya, nama rawinya,dan metode penyampaian hadis dari tingkatan yang paling tinggi sampai kepada tingkatan hadis yang palin rendah, atau penyampaian hadis dari guru kepada muridnya (tahammul wa al-Adā al-Hadis) karena metode penyampain hadis dapat diketahui maka unsur-unsur yang membentuk kualitas hadis dapat diketahui dan menerima hadis dengan lambang “tahdis” atau ‘sama’ ” akan lebih terpercaya dari pada lambang “an”.



B.  Analisis Terhadap Kualitas Sanad Hadis
Sebagaimana telah diketahuir hampir seluruh umat Islam mengakui bahwa sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, al-Hadis, Ijma dan Qiyas. Meskipun demikian, sumber-sumber tersebut memiliki tingkatan yang berbeda. Yang paling utama adalah al-Qur’an kemudian al-Hadis, yang keduanya sebagai sumber pokok. Oleh karena itu, banyak ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw yang memerintahkan untuk taat kepada kedua sumber tersebut.
Dalam kaitannya dengan sumber yang pertama, umat Islam telah sepakat akan kemutawatirannya sehingga tidak diperlukan lagi penelitian akan keasliannya. Sedangkan hadis Nabi saw, sebagian periwayatannya adalah mutawatir dan sebagian yang lain tidak mutawatir. Oleh karena itulah diperlukan penelitian tersendiri untuk hadis Nabi saw agar dapat diketahui apakah hadis yang bersangkutan dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya.
Dari beberapa jalur hadis yang telah dipaparkan di atas, penulis hanya akan memfokuskan penelitian pada sanad hadis dari mukharrij-Abū Dāwud yang terdapat dalam salah satu kitab yang menjadi rujukan hadis (Sunan Abī Dāwud). Berikut penulis paparkan kembali hadis tersebut:

حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ الْجَزَرِىِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ[44]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abū Taubah, telah menceritakan kepada kami, Ubaidillah dari Abdul Karīm al Jazari dari Said bin Jubair dari Ibn ‘Abbās ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.
Adapun nama-nama periwayat yang akan penulis teliti dari jalur sanad kitab Sunan Abū Dāwud adalah sebagai berikut :
NO
NAMA PERIWAYAT
URUTAN SEBAGAI PERIWAYAT
URUTAN SEBAGAI SANAD
1
Ibn ‘Abbās
I
V
2
Sa’īd ibn Jubair
II
IV
3
Abdul Karīm al-Jazarī
III
III
4
Ubaidillah
IV
II
5
Abū Taubah
V
I
7
Abū Dāwud
VI
Mukharrij al-Hadis

1.    Ibn ‘Abbās
Nama aslinya adalah ‘Abdullah ibn ‘Abbās ibn ‘Abdul Muṭāllib ibn Hāsyim, putra dari paman Nabi. Ibunya bernama Ummu al-Fadlel Lubābah al-Qubrā binti al-Hāris al-Hilāliyah yang mana tidak lain adalah saudara perempuan dari istri Nabi yang bernama Maimūnah. Adapun nama Ibn ‘Abbās merupakan nama kuniyah. Beliau berasal dari suku Banī Quraiys al-Hāsimi. Lahir di Mekah pada 5 Tahun sebelum Hijriyah dan wafat di Tāif pada tahun 67. [45]
Hadis-hadis yang Ibn ‘Abbās riwayatkan sebanyak 1660 buah. Dari jumlah tersebut yang Muttafaqun ‘alaihi sebanyak 95 buah dan yang infara bihi al-Bukhari sebanyakan 29 buah dan yang infara bihi Muslim sebanyak 49 buah. Dalam meriwayatkan hadis, Ibn ‘Abbās menerima hadis langsung dari Nabi dan ada pula yang bersumber dari para sahabat. Di antaranya adalah :”Aisyah binti Abū Bakr, ‘Ali ibn Abī ṭālib, ‘Abbās ibn ‘Abdul Muṭāllib ibn Hāsyim ibn Abī manāf, ‘Umar ibn Khatab, Fâtimah binti Qais ibn Khālid.[46]
Sedangkan beberapa orang murid yang meriwayatkan hadis darinya adalah : Sa’īd ibn Jubair ibn Hāsyim, ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn ‘Abbās, Ali ibn Dāwud dan beberapa lainnya.
2.    Sa’īd ibn Jubair
Nama lengkapnya adalah Sa’īd ibn Jubair ibn Hāsyim. Kuniyah-nya adalah Abū Muhammad. Wafatnya tahun 94 dan menurut Abū Nuaim pada tahun 95 H. sepanjang karirnya sebagai periwayat hadis, Sa’īd ibn Jubair tercatat memiliki beberapa orang guru, di antara nama-nama gurunya adalah ‘Abdullah ibn ‘Abbās ibn ‘Abdul Muṭāllib ibn Hāsyim (Ibn ‘Abbās), Ibn ‘Umar, Ibn Mas’ud al-Ansāri, Ibn Sa’īd al-Khudrī, Abū Hurairah, ‘Anas, Maimûn dan lain-lainnya sedangkan beberapa nama-nama muridnya antara lain : Ṭalhah ibn Musrif ibn ‘Umar ibn Ka’ab, putranya sendiri ‘Abdul Mālik, Yu’lā ibn Hākim, Atā ibn as-Sȃib dan lain-lainnya.[47]
Nama Ibn Jubair di kalangan kritikus hadis termasuk periwayat hadis yang memiliki popularitas dan integritas yang cukup baik, atau dengan kata lain tingkat ke-‘adalah-an dan ke-ḍābit-annya dinilai oleh kalangan ulama hadis tidak perlu diragukan lagi. Di antara sejumlah perawi hadis yang mengkategorikannya sebagai perawi yang ‘adalah dan ḍābit, misalnya Abū Qāsim at-Tabāri. Menurutnya ibnu Jubair dinilai sebagai periwayat hadis yang ṡiqah, dikarenakan ia (Ibn Jubair) dikenal memiliki ketaqwaan, kejujuran, kebersihannya dari hal-hal yang menjatuhkan martabat dirinya serta kecerdasan untuk mentransformasikan hadis yang pernah ia dapatkan dari gurunya, terutama dari Ibn ‘Abbās. Selain Abū Qāsim al-Tabāri, ulama hadis yang lain yang member apresiasi positif adalah Yahyā ibn Mu’in yang juga menilai ṡiqah, ‘Abū Zar’ah al-Rāzi Abū al-Qāsim al-Likā’i dengan predikat ṡiqah imam hujjah, serta Ibn Hibbān yang juga menilainya sebagai ṡiqah.[48]
3.    Abdul Karīm al-Jazarī
Nama lengkapnya adalah Abdul Karȋm bin Mālik al-Jazarī atau disebut juga Abū Sa’īd al-Harāni. Dia berasal dari desa Yamāmah dan wafat pada tahun 124. Dia meriwayatkan Hadis dari Atha’, Ikrimah, Sa’īd bin Musayyab, Sa’īd bin Zubair, Mujāhid, Abū Ubaidah bin Mālik bin Mas’ud. Ṭawus, Abdurrahman bin Abī Laila, Nafi’ dan juga yang lainnya.[49]
Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan hadis dari Abdul Karīm al-Jazarī diantaranya ialah Ayūb as-Sakhtayānī, Ibn Juraih, Mālik, Ma’mar, Juhair bin Muawiyah, Hujāj bin Arṭāh, Israil bin Yunus, Ubaidillah bin Umar, Ar Raqī, Muhammad bin Abdullah bin Ulāsah, Abū al-Ahwash, Sufyan dan lain sebagainya.[50]
Ahmad berpendapat bahwa dia adalah orang yang ṡiqah lagi ṡubut,  dia juga merupakan ṣahibu sunnah, Muawiyah bin Ṣalih yang diriwayatlan dari Yahya bin Muayyin berkomentar serupa bahwa Abdul Karīm al-Jazarī adalah orang yang ṡiqah lagi ṡubut, Ibn Sa’ad juga berkomentar bahwa Abdul Karīm al-Jazarī merupakan orang yang ṡiqah lagi banyak meriwayatkan hadis.[51]
At-Tirmiżi, Abū Bakr al-Bazzāri, Ibn al-Barakī, dan ad-Daruqutnī berkomentar bahwa dia (Abdul Karīm al-Jazarī) adalah orang yang ṡiqah. Sufyan as-Ṡauri berkata : Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dibanding dia (Abdul Karīm al-Jazarī) ketika menyampaikan suatu hal. Ibn Abdil Bar berkata dia adalah orang yang ṡiqah karena dia banyak meriwayatkan hadis.[52]
4.    Ubaidillah
Namanya adalah Ubaidillah bin ‘Amr bin Abī Walīd al –Asadī, ia meriwayatkan hadis dari Abdul Malik bin Umair, Abdullah bin Muhammad bin Aqil, Yahya bin Sa’īd al-Anṣari, al-A’mas, Ayub, Lais bin Abī Salīm, Ma’mar, Aṡauri, Ibn Abī Unaisah, Ishak bin Rasyid dan lain sebagainya.[53]
Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya di antaranya ialah Baqiyyah, Abdullah bin Ja’far ar-Raqī, Zakaria bin Adī, Ahmad bin Abdul Mālik al-Harāni, Alā’ bin Hilal al-Bāhili, Hisyām bin Jamil al-Inṭaki, Yusuf bin Adī, Walid bin Ṣalih an-Nakhasi, Yahya bin Yusuf al-Jamī, Uṡman bin Sa’īd al-Kūfi, ‘Amr bin Qasit ar-Raqī dan lain sebagainya.[54]
Ibn Mu’in dan an-Nasa’i berkomentar bahwa Ubaidillah merupakan orang yang ṡiqah, Abū Hatim juga berkomentar bahwa dia adalah orang yang ṡiqah lagi ṡuduq, dan aku tidak mengetahui satupun hadis munkar darinya. Ibnu Saad berkomentar bahwa dia adalah orang yang ṡiqah lagi ṡuduq dan juga banyak meriwayatkan hadis, dan dia merupakan orang yang paling kuat hafalannya di antara orang-orang yang meriwayatkan hadis dari Abdul Karīm al-Jazarī. Dia meninggal di Ruqqah pada tahun 180, ada yang mengatakan bahwa dia lahir pada tahun101. Pendapat ini diutarakan oleh Abū Ali al-Harāni dalam sejarah kota Ruqqah yang diriwayatkan dari Hilal bin Alā’. Ibn Hibbān menggolongkannya sebagai orang yang ṡiqah, ia berkata bahwa Ubaidillah Merupakan rawinya Zaid bin Abī Unaisah.[55]

5.    Abū Taubah
Abū Taubah al-Halābi nama aslinya adalah Rabī’ bin Nāfi’, ia tinggal di Ṭarsus. Ia meriwayatkan hadis dari Abū Ishak al-Fajāri, Abū Mulaih al-Hasan bin ‘Amr ar-Raqī, Muawiyah bin Salam, Hāsyim bin Humaid, Ubaidillah bin ‘Amr ar-Raqī, Sa’īd bin Abdirahman al-Jamahi, Isya bin Yunus, Muhammad bin Muhājir, Ibn Uyainah dan lain-lain.[56]
Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya ialah Abū Dāwud, kemudian al-Bukhari juga meriwayatkan hadis dari Abū Taubah melalui perantara Hasan bin Ṣabāh al-Bajjāri. Abū Dāwud meriwayatkan hadis dari Abū Taubah di dalam kitab al-Marāsil melalui perantara Ismail bin Musa’adah, Muslim meriwayatkan hadis dari Abū Taubah melalui perantara Hasan bin Ali al-Halawani, an-Nasa’i meriwayatkan hadis dari Abū Taubah melaui perantara Ibrahim bin Ya’kub dan Muhammad bin Abī Yahya bin Kaṡir al-Harāni, Abū Hātim dan Ibn Majah meriwayatkan hadis dari Abū Taubah melalui perantara Ibrahim bin Sa’īd al-Jauhari, Abū al-Ahwas al-Akbari, Ahmad bin Hanbal, Abū Bakr al-Aṡrami, Abdullah ad-Dārimi, Ya’kub bin Sufyan, Mūsā bin Sa’īd ad-Dandāni, Abdul Karīm bin Hisyām dan lain-lain.[57]
An-Nasa’i berkata: Telah memberitakan kepada kami Sulaiman bin al-Asy’asy, ia pernah mendengar Ahmad berkata: Aku tidak pernah memiliki masalah apapun dengan Abū Taubah dan al-Asram juga berkata : Aku mendengar Abū Abdillah menyebut nama Abū Taubah dan memujinya, kemudian ia berkata : Aku tidak pernah mengetahui apa-apa tentangnya (Abū Taubah) kecuali kebaikan saja. Abū Hatim berkomentar, Abū Taubah adalah orang yang ṡiqah, ṡuduq dan dapat dijadikan hujjah. Ya’kub bin Syaibah berkomentar, Abū Taubah adalah orang yang ṡiqah lagi ṡuduq. Al-Azary berkomentar Abū Taubah adalah orang yang terjaga dari kecongkakan, pengelihatannya penuh dengan penghormatan dan dalam dirinya terdapat sifat sabar. Abū Taubah wafat pada tahun 241.[58]
6.    Abū Dāwud
Nama lengkap Abū Dāwud adalah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin ‘Amar al-Azdi as-Sijistani. Beliau dilahirkan dilahirkan tahun 202 H di Sijistan dan wafat di Basrah tanggal 16 Syawal 275 H.
         Sejak kecil Abū Dāwud sangat mencintai ilmu, dia belajar hadis dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan yang lainnya. Pengembaraanya kebeberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadis sebanyak-banyaknya. Kemudian hadis tersebut disaring, lalu ditulis pada kitab sunan. Abū Daud sudah beberapa kali mengunjungi Bagdad. Di kota itu dia mengajar hadis dengan menggunakan kitab sunan sebagai pegangan. Kitab sunan itu ditunjukan kepada ulama-ulama hadis terkemuka, seperti Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus.
Jumlah guru Imam Abū Dāwud sangat banyak, di antara gurunya yang paling menonjol antara lain: Ahmad bin Hanbal,  Abū Hurairah, al-Qan’abi, Abū ‘Amar ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja’, Abdul Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebagian gurunya ada yang menjadi guru dari Imam Bukhari dan Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Uṡman bin Abū Syaibah dan Qutaibah bin Sa’īd.
Ulama yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan hadisnya antara lain adalah Abū Isya at-Tirmiżi, Abū Abdurrahman an-Nasa’i, putranya sendiri yaitu Abū Bakr bin Abū Daud, Abū Awana, Abū Sa’īd al-Arabi, Abū Ali al-Lu’lu’i, Abū Bakr bin Dassah, Abu Salīm, Muhammad bin Sa’īd al-Jaldawi dan lain-lain.
Abū Dāwud termasuk ulama yang mencapai derajat tinggi dalam beribadah, kesucian diri, kesalihan dan wara’ yang patut diteladani. Sebagian ulama berkata: Perilaku Abū Daud, sifat dan kepribadiannya menyerupai Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal menyerupai Waki’, Waki’ seperti Sufyan as-Ṣauri, Sufyan seperti Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibarahim menyerupai Alqamah. Alqamah seperti Ibn Mas’ud dan Ibn mas’ud seperti Nabi saw. Sifat dan kepribadian seperti ini menunjukan kesempurnaan beragama, prilaku dan akhlak Abū Dāwud.
Komentar para ulama hadis mengenai Abū dāwud juga dapat disimak dari perkataan Mūsā bin Harun bahwa ia tidak pernah tahu tentang orang yang lebih utama dari Abū Dāwud sehingga ia menyuruh kepada Muhammad bin Yahya bin Abī Saminah untuk menulis hadis yang diperoleh dari Abū Dāwud. Berbeda dengan penilaian Maslamah bin Qāsim, menurutnya Abū Dāwud adalah orang yang ṡiqah, zuhud, faham hadis serta menjadi imam pada masanya.[59]
Abū Dāwud adalah seorang tokoh ahli hadis yang menghafal dan memahami hadis beserta illatnya, dia mendapatkan kehormatan dari para gurunya terutama Imam Ahmad bin Hanbal.
Berdasarkan penelitian terhadap kualitas para perawi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sanad hadis tersebut saling bersambung mulai dari mukharrij-nya yaitu Abū Dāwud sampai kepada Ibn ‘Abbās. Persambungan sanad terlihat dengan adanya pertemuan guru dan murid, antara periwayat yang satu dengan periwayat sesudahnya serta seluruh rawi hadis termasuk dalam kategori ṡiqah.
Beberapa komentar ulama mengenai kualitas hadis ini, di antaranya Abū Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani (1333 H - 1420 H) berkomentar dalam kitab Shahih wa Ḍaif al-Jami’ as-Ṣagir pada hadis nomer 14113 hadis Ibn ‘Abbās yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud tentang mengecat rambut ini merupakan hadis yang ṣahih.[60]
Abū Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hākim al-Naisaburi (321 H/933 M - 405 H/1014 M) berkomentar dalam kitab Ṣahih Targīb wa Tarhīb pada nomer hadis 2097 hadis Ibn ‘Abbās yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud tentang mengecat rambut ini merupakan hadis yang ṣahih sanadnya.[61]














           

BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Hadis yang berbicara tentang mengecat rambut dengan warna hitam yang menjadi objek material penelitian ini merupakan hadis yang sampai ketingkatan Nabi. Dengan demikian hadis ini bersifat marfu’. Bila ditilik dari segi ketersambungan sanadnya, maka hadis ini dapat disimpulkan sebagai hadis yang bersambung sanadnya. Demikian juga dengan kualitas dan integritas periwayatnya, mayoritas kritikus hadis tidak mempersoalkannya, atau dengan kata lain seluruh periwayat yang meriwayatkan hadis ini semuanya masuk dalam kategori ṡiqah. Sehingga hadis ini bisa diakui ke-hujjah-annya.

B.  Saran-saran
Melalui penelitian ini, maka sesuatu yang patut dilakukan kemudian menurut penulis adalah perlu dikembangkan lagi dengan adanya penelitian matan mengenai hadis ini, hal itu perlu untuk mengkorelasikan kandungan hadis yang kami teliti dengan realitas yang ada sekarang ini. Meskipun dari segi kualitas sanad hadis ini merupakan hadis yang bisa diterima ke-hujjah-annya akan tetapi mungkin dengan adanya penelitian matan maka akan ada pertimbangan-pertimbangan lain dalam menerapkan redaksi hadis ini ketika dikaitkan dengan konteks hukum mengecat rambut dengan warna hitam dan dengan konteks kekinian



C.  Kata Penutup
Alhamdulillah, rasa puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas terselesaikannya penulisan ini dengan judul “Hadis Riwayat Ibn ‘Abbās Tentang Mengecat Rambut Dengan Warna Hitam” studi kritik sanad. Sumbangan komentar serta kritik guna penambahan dan perbaikan atas penelitian ini adalah harapan yang tiada putusnya bagi penulis. Karena bagaimanapun, penelitian ini hanya merupakan sekelumit dari sekian transformasi intelektual penulis. Amin..













DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin ‘Amar al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abū Daud, Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005 M.
Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr, Sunan an-Nasa’i, Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005 M.
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Marwazi al-Baghdadi, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005 M.
Abū Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi, Ṣahih Muslim, Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005 M.
Abū Abdullah Muhammad bin Ismāil al-Bukhāri, Ṣahih al-Bukhari, Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 2005 M.
Syihāb al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib at-Tahżib, Beirut: Dar as-Ṣādir, 1325 H.
Juynboll G.H.A., Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa Awal: Studi Analisis Hadis, Jakarta: INIS, 1993 M.
Itr, Nurud-Din, Manhaj an-Naqd, Beirut: Dārul Fikr, 1979 M.
Al- Alāmah Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dārul Hadīs al-Qāhirah, 2003 M.
Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 2005 M.
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992 M.
Nazir, M, Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998 M.
Abū Hanīfah ad-Dīnawari, Wiesbaden 1974 M.
Abū Hanīfah ad-Dīnawari, Kairo 1973 M.
Lewin, Bernhard, Qira’ah Min al-Juz al-Khamis Min Kitāb an-Nabāt, Uppasala 1953 M.
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama 4, 2003 M
Maktabah Syamilah, versi 10.000 kitab. 20 GB

CD  Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf  
KBBi Off Line, V1.1









Lampiran : Skema Sanad Hadis

عبد الله بن جعفر الرقي
حسين وأحمد بن عبد الملك
أَبُو تَوْبَةَ
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ الْحَلَبِيُّ
عُبَيْدُ اللَّهِ
عَبْدِ الْكَرِيمِ الْجَزَرِىِّ
سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ
ابْنِ عَبَّاسٍ
رَسُولُ اللَّهِ
                                                                          
(1)   قَالَ (3) أن (4) عن

                                                                                                               (2) عن


                                                                                                                   عن


                                                                                                                 عن


(1)   
(1)   Abū Daud
حَدَّثَنَا (2) عن (3) حَدَّثَنَا (4) حَدَّثَنَا


أبى
زهير
(2) An-Nasai’i
                     حَدَّثَنَا                            أَخْبَرَنَا                              حدثنا                         حدثنا

عبد الله
(3) Abū Ya’la
                                                                                                                                                حدثنا                     حدثني


(4) Ahmad

حدثنا


[1] Abū Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, Ṣahih Muslim, (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005), juz 1,  hlm. 65, no. 275.

[2] Abū Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, Ṣahih Muslim, (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005), juz  6, hlm. 210, no. 5681
[3] Abū ‘Abdullah Muhammad  bin Ismāil al-Bukhāri, Ṣahih al-Bukhari,(Riyaḍ, Maktabah ar-Rusyd, 2005), juz 7, hlm. 207, no. 5899.
[4] Abū Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, Ṣahih Muslim, (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005), juz 6, hlm. 155, no. 5631,
[5] Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin ‘Amar al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abū Dāud, (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd), no.4212, hlm. 266
[6] Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin ‘Amar al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abū Dāud, (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd), juz 4, hlm. 266, no.4214.

[7] Dr. G.H.A. Juynboll, Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa Awal: Studi Analisis Hadits.(Jakarta:INIS, 1993), hlm. 1
[9] http://nawwaf.wordpress.com/2009/02/01/hukum-mewarnai-rambut/feed/, Diunduh pada : 20-05-2012 pukul : ±21.45
[10] Tanya Jawab Agama, jilid 4, hlm. 24
[11] Nurud-Din ‘Itr, Manhaj an-Naqd, hlm. 80-81
[12] KBBi Off Line, v1.1
[13] Al-Alāmah Ibn Manẓūr, Lisan al-‘Arab, (Dār al-Hadīs al-Qāhirah, 2003)  juz XXI:  456-463.
[14] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 131-139
[15] Ibid., hlm. 137-139
[16] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 133-140
[17] Ibid., hlm. 138 dan 166
[18] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 66
[19] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 66
[20] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 140
[21] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 142-143
[22] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 66
[23] KBBI Off Line, v1.1
[24] M. Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 63
[25] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 43.
[26] Ibid., hlm. 49.
[27] Dr. G.H.A. Juynboll, Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa Awal: Studi Analisis Hadis.(Jakarta:INIS, 1993), hlm.19.
[28] Qira’ah Min al-Juz al-Khamis Min Kitāb an-Nabāt, ed. Bernhard Lewin,Uppasala 1953, hlm. 106.
[29] Abū Hanīfah ad-Dīnawari, Kitab an-Nabāt (Wiesbaden ,1974), hlm. 179.
[30] Ibid,.
[31] Ibid., hlm. 180
[32] Ibid., hlm. 180-183.
[33] KBBi Off Line, v1.1
[34] Abū Hanīfah ad-Dīnawari, Kitab an-Nabāt, (Wiesbaden ,1974), hlm. 168 dan 178
[35] Ibid., 182
[36] Dr. G.H.A. Juynboll, Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa Awal: Studi Analisis Hadis.(Jakarta:INIS, 1993), hlm. 23
[37] Abū Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi, Ṣahih Muslim, (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd) , juz 6,  hlm. 155, no. 5631.
[38] Dr. G.H.A. Juynboll, Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa Awal: Studi Analisis Hadits.(Jakarta:INIS, 1993), hlm. 25
[39] Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Marwazi al-Bagdadi, Musnad Ahmad ibn Hanbal, (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005), juz 1, hlm. 451, no. 2474.
[40] Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abū Daud, (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005), juz 11, hlm. 266, no.4212.
[41] Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr, Sunan an-Nasa’i, (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005) , juz 8, hlm.138  no.5075.
[42] Muhammad bin al-Husein bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad bin al-Farra’, Musnad Abū Ya’la, (al-Maktabah as-Syamilah), juz 4, hlm. 471, no. 2603.
[43] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 5.
[44]Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abī Dāwud, (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd), juz 11, hlm. 266, no.4212.
[45] Syihāb al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir, 1325 H),  jilid 5, hlm. 122
[46] Syihāb al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir, 1325 H),  jilid 5, hlm. 122
[47] Ibid.  Jilid 4, hlm. 11
[48] Syihāb al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir, 1325 H),  jilid 4, hlm. 12
[49] Ibid. jilid 6, hlm. 374
[50] Ibid.
[51] Ibid.
[52] Syihāb al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir, 1325 H),  jilid 6, hlm. 375
[53] Ibid. jilid 7, hlm. 42
[54] Ibid.
[55] Ibid.
[56] Syihāb al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir, 1325), jilid 3, hlm. 251
[57] Ibid., hlm. 252
[58] Syihāb al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir, 1325 H), jilid 3, hlm. 252
[59] Syihāb al-Din Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżib at-Tahżib (Beirut: Dār as-Ṣādir,1325 H), jilid 4, hlm. 169  
[60] Al-Maktabah al- Syamilah, versi 10.000 kitab. 20 GB
[61] Ibid.,

0 komentar:

Posting Komentar